Wednesday 20 November 2013

Perlukah Melafadzkan Niat Dalam Salat ?

0 komentar
Perlukah melafadzkan Niat ?
Bismillah...
Artikel kali ini akan membahas kebiasaan
masyarakat yang sudah mendarah daging yaitu
wajibnya melafadzkan niat ketika ritual-ritual
tertentu ketika sholat berjamaah misalnya.
Sesusah itukah Islam ? Ketika mau beramal
harus mengucapkan niat yang panjang
bacaanya. Bukankah niat itu ada didalam hati
kita masing-masing bukan di lisan.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i
Rahimahullah ditanya:
“Apakah melafadzkan niat termasuk perkara
yang diada-adakan dalam agama (bid‘ah),
sementara di dalam kitab Al-Umm
disebutkan keterangan hal ini secara samar
(yakni niat harus dilafadzkan)? Jelaskan
pada kami tentang permasalahan ini.
Jawab: Melafadzkan niat teranggap sebagai
perbuatan yang diada-adakan dalam agama
(bid‘ah), sementara Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:
“Katakanlah: Apakah kalian akan
memberitahukan kepada Allah tentang
agama kalian?” (Al-Hujurat:16)
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam bersabda
kepada orang yang salah shalatnya:
“Apabila engkau berdiri untuk shalat, maka
bertakbirlah.”
Di sini beliau tidak mengatakan kepada orang
tersebut: “Katakanlah: aku berniat” (sebelum
mengucapkan takbir).
Ketahuilah bahwa ibadah shalat, wudhu`, dan
juga ibadah-ibadah yang lainnya memang tidak
sah kecuali dengan niat. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan ibadah seluruhnya haruslah ada
niat, berdasarkan sabda Rasulullah Sholallahu
'Alaihi Wassallam.
Namun perlu diketahui, tempat niat itu di hati
dan keliru apabila dikatakan bahwa di dalam
kitab Al-Umm disebutkan tentang melafadzkan
niat. Ini salah, bahkan hal ini tidak ada di dalam
kitab Al-Umm tersebut. (Ijabatus Sa-il, hal. 27)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah :
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam bila berdiri
untuk shalat, beliau langsung mengucapkan
takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun
sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama
sekali. Beliau juga tidak mengatakan:
Aku tunaikan untuk Allah shalat ini dengan
menghadap kiblat empat rakaat sebagai
imam atau makmum.
Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang
diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada
seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam baik dengan
sanad yang sahih, dha’if, musnad (bersambung
sanadnya) atau pun mursal (terputus sanadnya).
Bahkan tidak ada nukilan dari para shahabat.
Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari
kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang
menganggap baik hal ini.
Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang
sekarang) keliru dalam memahami ucapan Al-
Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala meridhainya– tentang shalat. Beliau
mengatakan: “Shalat itu tidak seperti zakat.
Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini
kecuali dengan dzikir.” Mereka menyangka
bahwa dzikir yang dimaksud adalah ucapan niat
seorang yang shalat. Padahal yang dimaksudkan
Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu
wa Ta'ala merahmatinya– dengan dzikir ini tidak
lain adalah takbiratul ihram.
Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i
Rahimahullah menyukai perkara yang tidak
dilakukan oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam
dalam satu shalat pun, begitu pula oleh para
khalifah beliau dan para shahabat yang lain.
Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau
ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada
kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini,
maka kita akan menerimanya dan
menyambutnya dengan ketundukan dan
penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang
lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan
tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari
pembawa syariat Shalallahu 'Alaihi Wassallam .
(Zadul Ma’ad, 1/201)