Monday 18 November 2013

Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al Qur'an

0 komentar
Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al-Qur’an?
Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama.
1. Basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an
kecuali ayat ke-30 pada surah An-Naml.
Ini pendapat Al-Imam Malik dan sekelompok
ulama Hanafiyah. Juga dinukilkan oleh
sebagian pengikut Al-Imam Ahmad dalam
sebuah riwayat dari beliau bahwa ini mazhab
beliau.
2. Basmalah adalah ayat dari setiap surah
atau sebagian surah.
Ini mazhab Al-Imam Syafi’i dan yang
mengikuti beliau. Akan tetapi, dalam sebuah
penukilan dari beliau disebutkan bahwa
basmalah bukan ayat di permulaan setiap
surah kecuali Al-Fatihah, sedangkan surah
lain hanyalah dibuka dengan basmalah untuk
tabarruk (mencari berkah).
3. Basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an,
namun dia bukan termasuk bagian surah,
tetapi ayat yang berdiri sendiri dan dibaca di
awal setiap surah Al-Qur’an kecuali surah
At-Taubah, sebagaimana Nabi n
membacanya ketika diturunkan kepada beliau
surah Al-Kautsar seperti yang diriwayatkan
Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya.
Ini merupakan pendapat Al-Imam Abdullah
ibnul Mubarak, Al-Imam Ahmad, dan Abu
Bakr ar-Razi—beliau menyebutkan bahwa
inilah yang diinginkan oleh mazhab Abu
Hanifah—. Ini pula pendapat para muhaqqiq
(peneliti) dalam masalah ini.
Kami lebih condong kepada pendapat yang
terakhir ini.
Apakah Basmalah Itu Ayat Pertama Al-
Fatihah?
Ada dua pendapat ulama tentang hal ini.
1. Basmalah bagian dari surah Al-Fatihah,
namun bukan bagian surah yang lain,
sehingga wajib membacanya ketika membaca
Al-Fatihah.
2. Tidak dibedakan antara Al-Fatihah dan
surah yang lainnya dalam Al-Qur’an,
sehingga membaca basmalah di awal Al-
Fatihah sama dengan membaca basmalah di
awal surah lainnya (karena basmalah adalah
ayat yang berdiri sendiri). Pendapat ini
bersesuaian dengan hadits yang sahih, dan
inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut
penulis.
Bacaan Basmalah dalam Shalat
Ada tiga pendapat ulama tentang hal ini.
1. Wajib seperti wajibnya membaca Al-
Fatihah.
Ini merupakan pendapat Al-Imam Syafi’i,
sebuah riwayat dari Al-Imam Ahmad dan
sekelompok ahlul hadits. Pendapat ini
dibangun berdasar anggapan bahwa
basmalah itu bagian dari Al-Fatihah.
2. Makruh (dibenci) baik secara sirr
maupun jahr.
Pendapat ini masyhur dari mazhab Al-Imam
Malik.
3. Boleh, bahkan mustahabbah (disenangi).
Ini pendapat yang masyhur dari Al-Imam
Ahmad, Abu Hanifah, dan kebanyakan ulama
ahlul hadits. Ini pula pendapat yang kami
pilih.
Pendapat ini juga dipegangi oleh orang yang
berpendapat boleh membacanya ataupun
tidak karena berkeyakinan bahwa kedua hal
tersebut adalah qira’ah/bacaan Al-Qur’an
yang diperkenankan.
Apakah Basmalah Dibaca Jahr atau Sirr?
Dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat.
1. Disunnahkan membacanya secara jahr.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan
ulama lain.
2. Disunnahkan membacanya secara sirr.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama ahlul
hadits dan ahli ra’yu, serta pendapat
mayoritas fuqaha di dunia.
3. Seseorang bisa memilih, secara jahr atau
sirr.
Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Imam
Ishaq bin Rahawaih. Ini juga pendapat Al-
Imam Ibnu Hazm dan lainnya. (Majmu’
Fatawa, 22/435—437)
Bacaan Basmalah
Rasulullah n mengucapkan:
tanpa mengeraskan suara, sebagaimana
dipahami dari hadits Anas bin Malik z yang
memiliki banyak jalan dengan lafadz yang
berbeda-beda, dan semua menunjukkan
bahwa Nabi n tidak mengeraskan suara
ketika mengucapkan basmalah. Salah satu
jalannya adalah dari Syu’bah, dari Qatadah,
dari Anas z, ia berkata:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ n ﻭَﺃَﺑَﺎ ﺑَﻜْﺮٍ ﻭَﻋُﻤَﺮَ c ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻔْﺘَﺘِﺤُﻮﻥَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ
ﺑِـ } ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ }
“Sesungguhnya Nabi n, Abu Bakr dan Umar c,
membuka (bacaan dengan suara keras)
dalam shalat mereka dengan ‘Alhamdulillahi
Rabbil ‘alamin.” (HR. Al-Bukhari no. 743 dan
Muslim no. 888)
Al-Imam Ash-Shan’ani t menyatakan, hadits
di atas menunjukkan bahwa Nabi n, Abu Bakr
dan Umar c tidak memperdengarkan kepada
makmum (orang yang shalat di belakang
mereka) ucapan basmalah dengan suara
keras saat membaca Al-Fatihah (dalam
shalat jahriyah). Mereka membacanya
dengan sirr/perlahan. (Subulus Salam 2/191)
Adapun ucapan Anas, “Mereka membuka
(bacaan dengan suara keras) dalam shalat
mereka dengan Alhamdulillah…” tidak mesti
dipahami bahwa mereka tidak membaca
basmalah secara sirr. (Fathul Bari, 2/294)
Al-Imam Asy-Syafi’i t mengatakan, “Makna
hadits ini adalah Nabi n, Abu Bakr, Umar, dan
Utsman g, mengawali bacaan Al-Qur’an
dalam shalat dengan (membaca) Fatihatul
Kitab sebelum membaca surah lainnya.
Bukan maknanya mereka tidak mengucapkan
Bismillahir rahmanir rahim.” (Sunan At-
Tirmidzi, 1/156)
Ulama berselisih pandang dalam masalah
men-jahr-kan (mengucapkan dengan keras)
ucapan basmalah ataukah tidak dalam shalat
jahriyah. Sebetulnya, semua ini beredar dan
bermula dari perselisihan apakah basmalah
termasuk ayat dalam surah Al-Fatihah atau
bukan. Juga, apakah basmalah adalah ayat
yang berdiri sendiri pada setiap permulaan
surah dalam Al-Qur’an selain surah Al-
Bara’ah (At-Taubah), ataukah bukan ayat
sama sekali kecuali dalam ayat 30 surah An-
Naml? Insya Allah pembaca bisa melihat
keterangannya pada artikel: Apakah
Basmalah Termasuk Ayat dari Surah Al-
Fatihah?
Kami (penulis) dalam hal ini berpegang
dengan pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa basmalah dibaca dengan
sirr. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata, “Yang
diamalkan oleh mayoritas ulama dari
kalangan sahabat Nabi n—di antara mereka
Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya g—
dan ulama setelah mereka dari kalangan
tabi’in, serta pendapat yang dipegang Sufyan
ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq,
bahwasanya ucapan basmalah tidak
dijahrkan. Mereka mengatakan, orang yang
shalat mengucapkannya dengan perlahan,
cukup didengarnya sendiri.” (Sunan At-
Tirmidzi, 1/155)
Guru besar kami, Asy-Syaikh Al-Muhaddits
Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i t, dalam kitab
beliau, Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish
Shahihain (2/97), menyatakan bahwa riwayat
hadits-hadits yang menyebutkan basmalah
dibaca secara sirr itu lebih shahih/kuat
daripada riwayat yang menyebutkan bacaan
basmalah secara jahr.
Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i t dan pengikut
mazhabnya, juga—sebelum mereka—beberapa
sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair g, serta
kalangan tabi’in, berpendapat bahwa bacaan
basmalah dijahrkan. (Sunan At-Tirmidzi,
1/155)
Kelemahan hadits2 menjahrkan bacaan
basmalah
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata,
“Ulama yang mendalam pengetahuannya
terhadap hadits telah bersepakat, tidak ada
satu pun hadits (sahih, pen.) yang tegas
menyebutkan pembacaan basmalah secara
jahr. Demikian pula, tidak diketahui ada salah
satu kitab sunan yang masyhur—seperti
Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan
An-Nasa’i—yang membawakan periwayatan
basmalah secara jahr. Periwayatan yang
menyebutkan secara jahr hanya didapatkan
dalam hadits-hadits maudhu’ah (palsu) yang
diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dan Al-
Mawardi—dalam Tafsir—dan yang serupa
dengan beliau berdua, atau disebutkan di
beberapa kitab fuqaha yang tidak
membedakan antara riwayat yang palsu dan
yang tidak.
Ketika Al-Imam Ad-Daraquthni t datang ke
Mesir, beliau pernah diminta mengumpulkan
hadits-hadits yang menyebutkan pembacaan
basmalah secara jahr. Beliau pun
melakukannya. Ketika beliau ditanya, adakah
yang sahih dari hadits-hadits tersebut?
Beliau menyatakan, “Adapun dari Nabi n,
tidak didapatkan, sedangkan atsar dari
sahabat Nabi n ada yang sahih dan ada pula
yang dhaif (lemah).” (Majmu’ Fatawa,
22/416,417)
Beliau juga berkata, “Sebenarnya, banyak
beredar kedustaan dalam hadits-hadits yang
menyebutkan pembacaan basmalah secara
jahr karena orang-orang Syi’ah berpendapat
bacaan basmalah dijahrkan, padahal mereka
dikenal oleh kaum muslimin sebagai
kelompok yang paling pendusta di antara
kelompok-kelompok sempalan dalam Islam.
Mereka memalsukan hadits-hadits dan
membuat rancu agama mereka dengan
hadits-hadits tersebut.
Oleh karena itu, didapatkan ucapan imam
Ahlus Sunnah dari penduduk Kufah, seperti
Sufyan ats-Tsauri t, yang menyatakan bahwa
termasuk sunnah adalah mengusap kedua
khuf dan meninggalkan membaca basmalah
secara jahr. Sebagian mereka juga
menyebutkan bahwa Abu Bakr dan Umar c
lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama
dan lebih mulia daripada para sahabat yang
lainnya, dan ucapan-ucapan yang
semisalnya, karena hal-hal tersebut—yaitu
tidak mau mengusap khuf , membaca
basmalah secara jahr, menganggap ada yang
lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama,
dan lebih mulia daripada Abu Bakr dan Umar
—merupakan syiar Rafidhah. Ada pula
seorang imam mazhab Syafi’i, Abu Ali ibnu
Abi Hurairah t, yang meninggalkan jahr ketika
membaca basmalah. Ketika ditanya
sebabnya, beliau t berkata, “Karena membaca
basmalah secara jahr telah menjadi syiar
orang-orang yang menyelisihi
agama.” (Majmu’ Fatawa, 22/424)
Hadits yang menyebutkan secara tegas
bahwa basmalah diucapkan dengan jahr
diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dalam
Musnad-nya (hadits no. 145), Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (1/233), dan Al-Baihaqi
dalam Sunan-nya (2/47), dari jalan Abdullah
bin Utsman bin Khutsaim, dari Abu Bakr bin
Hafsh bin Umar, dari Anas bin Malik z,
bahwasanya Mu’awiyah z pernah mengimami
shalat di Madinah dan menjahrkan bacaan
Al-Qur’an, membaca basmalah sebelum
membaca Al-Fatihah, dan tidak membaca
basmalah sebelum surah yang dibaca setelah
Al-Fatihah sampai selesai bacaan tersebut.
Beliau z tidak bertakbir ketika turun sujud
hingga selesai shalat. Setelah mengucapkan
salam dari shalatnya, para sahabat Muhajirin
yang mendengar hal tersebut menyerunya
dari setiap tempat, “Wahai Mu’awiyah,
apakah engkau mencuri shalat, ataukah
engkau lupa?” Setelah peristiwa itu, bila
shalat mengimami manusia, Mu’awiyah z
membaca basmalah sebelum surah yang
dibaca setelah Ummul Qur’an (Al-Fatihah)
dan bertakbir ketika turun sujud.
Hadits yang lain diriwayatkan dari Abdullah
bin Utsman bin Khutsaim, dari Ismail bin
Ubaid bin Rifa’ah, dari bapaknya,
bahwasanya Mu’awiyah z pernah mengimami
penduduk Madinah tanpa membaca
basmalah dan tanpa bertakbir ketika
melakukan gerakan turun dan naik dalam
shalat. Beliau ditegur oleh para sahabat
Muhajirin dan Anshar, kemudian
disebutkanlah hadits yang semakna dengan
hadits di atas. (Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i
no. 146)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan,
hadits ini dhaif ditinjau dari beberapa sisi.
1. Riwayat yang sahih dan masyhur
menyebutkan secara jelas penyelisihan dari
Anas z terhadap riwayat di atas.
2. Poros sanad dalam kedua hadits tadi dari
Abdullah bin Utsman bin Khutsaim. Ia
dilemahkan sekelompok ahlul hadits. Mereka
memandang hadits ini mudhtharib/goncang
periwayatannya, baik secara sanad maupun
matan. Ini menjelaskan bahwa hadits
tersebut ghairu mahfuzh (mungkar).
3. Pada sanadnya tidak ada kesinambungan
mendengarnya seorang perawi dari perawi
yang lain. Bahkan, dalam sanad itu ada
kelemahan dan kegoncangan yang
dikhawatirkan menyebabkan
inqitha’ (terputusnya sanad), juga jeleknya
hafalan perawinya.
4. Anas z tinggal di Bashrah, sedangkan
ketika Mu’awiyah z di Madinah, tidak ada
seorang ulama ahli sejarah pun yang
menyebutkan Anas bersamanya. Bahkan,
secara zahir Anas tidak bersama Mu’awiyah.
5. Kalaupun benar terjadi di Madinah dan
perawinya adalah Anas z, tentu murid-murid
beliau yang terkenal menemani beliau—
demikian juga penduduk Madinah—akan
meriwayatkan hadits tersebut dari beliau.
Akan tetapi, tidak didapatkan salah seorang
dari mereka yang meriwayatkan dari Anas,
bahkan yang dinukil dari mereka justru
sebaliknya.
6. Bila benar Mu’awiyah membaca basmalah
dengan jahr, ini menyelisihi kebiasaan beliau
yang dikenal oleh penduduk Syam yang
menemani beliau, sementara tidak ada
seorang pun dari mereka yang menukilkan
bahwa Mu’awiyah membaca basmalah
dengan jahr. Bahkan, seluruh penduduk
Syam, baik pemimpin maupun ulamanya,
berpendapat tidak menjahrkan bacaan
basmalah. Dalam hal ini Al-Imam Al-Auza’i
sendiri—yang dikenal sebagai imam negeri
Syam—bermazhab seperti mazhab Al-Imam
Malik, yaitu tidak membaca basmalah sama
sekali, baik sirr ataupun jahr.
Dengan demikian, orang yang berilmu (para
muhaddits) yang melihat beberapa sisi ini
akan memastikan bahwa hadits ini batil,
tidak ada hakikatnya, atau telah diubah dari
yang sebenarnya.
Adapun yang membawakan hadits ini, telah
sampai kepadanya (hadits tersebut) dari
jalan yang tidak sahih, sehingga menimbulkan
cacat berupa terputusnya sanad.
Kalaupun hadits ini selamat, dia tetap syadz
(ganjil), karena menyelisihi periwayatan
perawi yang banyak dan lebih kokoh
(hafalannya) yang meriwayatkan dari Anas z
bahkan menyelisihi periwayatan penduduk
Madinah serta Syam. (Majmu’ Fatawa,
22/431—433)
Bolehnya menjahrkan bacaan basmalah
dalam keadaan tertentu karena maslahat
 Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin
Baz t berkata, “Riwayat yang menyebutkan
basmalah dibaca dengan jahr dibawa kepada
(pemahaman) bahwa Nabi n pernah
menjahrkan basmalah untuk mengajari orang
yang shalat di belakang beliau (para
makmum) apabila beliau membacanya
(dalam shalat sebelum membaca
Alhamdulillah…). Dengan pemahaman seperti
ini, terkumpullah hadits-hadits yang ada.
Terdapat hadits-hadits shahih yang
memperkuat apa yang ditunjukkan oleh
hadits Anas z yaitu disyariatkannya
membaca basmalah secara sirr.” (Ta’liq
terhadap Fathul Bari, 2/296)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata,
“Terkadang disyariatkan membaca basmalah
dengan jahr karena sebuah maslahat yang
besar, seperti pengajaran imam terhadap
makmum, atau menjahrkannya dengan ringan
untuk melunakkan hati dan mempersatukan
kalimat kaum muslimin yang dikhawatirkan
mereka akan lari kalau diamalkan sesuatu
yang lebih afdhal. Hal ini sebagaimana Nabi
n mengurungkan keinginan untuk
membangun kembali Baitullah sesuai dengan
fondasi Ibrahim q karena kaum Quraisy di
Makkah pada waktu itu baru saja
meninggalkan masa jahiliah dan masuk
Islam. Beliau n mengkhawatirkan mereka dan
melihat maslahat yang lebih besar berkenaan
dengan persatuan dan keutuhan hati-hati
kaum muslimin. Beliau n pun lebih memilih
hal tersebut daripada membangun Baitullah di
atas fondasi Ibrahim q.
Pernah pula Ibnu Mas’ud z shalat dengan
sempurna empat rakaat di belakang Khalifah
Utsman bin Affan z dalam keadaan mereka
sedang safar. Orang-orang pun mengingkari
Ibnu Mas’ud yang mengikuti perbuatan
Utsman z, karena seharusnya dia shalat dua
rakaat dengan mengqashar. Akan tetapi,
beliau n menjawab dan menyatakan,
“Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu, para imam, seperti Al-Imam
Ahmad dan lainnya, membolehkan berpindah
dari yang afdhal kepada yang tidak afdhal,
seperti menjahrkan basmalah dalam suatu
keadaan, menyambung shalat witir, atau yang
lainnya, untuk menjaga persatuan kaum
mukminin, mengajari mereka As-Sunnah, dan
yang semisalnya.” (Majmu’ Fatawa, 22/437—
438)
Diposkan 19th November 2012 oleh sufyan
ats-tsauriuntuk melihat vidio dakwah salaf disini