Wednesday 20 November 2013

Jilbab Wanita Muslim

0 komentar
Agama Islam merupakan agama yang memiliki
syari’at yang sempurna. Allah Ta’ala melalui
Rasul-Nya telah menjelaskan semua perkara yang
dibutuhkan manusia untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat. Sebagaimana sabda
Rasulullah, “Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang
mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari
Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya
kepada kalian ” (HR. Thabrani, shahih). Oleh
karena itu, kita sebagai orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya harus meyakini
bahwa semua syari’at Islam mendatangkan
kebaikan bagi pelakunya walaupun oleh sebagian
orang terasa berat untuk melaksanakannya.
Diantara syari’at Islam yang sering dilalaikan oleh
manusia, khususnya kaum wanita, adalah
perintah untuk berjilbab.
Wajibnya wanita mengenakan jilbab
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al
Ahzab : 59). Pada ayat tersebut, Allah
memerintahkan kepada para wanita untuk
mengenakan jilbab yang menutup seluruh tubuh
mereka. Jilbab adalah semua kain yang
digunakan oleh perempuan untuk menutupi
kepala, leher, dada, dan punggung hingga
menutupi bagian pantat. Sehingga dapat
dikatakan pakaian seorang muslimah adalah
pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya,
kemudian mengenakan jilbab di atas pakaian
tersebut, sehingga lekukan tubuh tidak terlihat
(lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Syarah Muslim An
Nawawi)
Rasulullah juga telah mengabarkan tentang
wanita yang menjadi penduduk neraka disebabkan
tidak menutup aurat. Sebagaimana Rasulullah
bersabda, ”Ada dua golongan dari penduduk
neraka yang belum pernah aku lihat : [1] Suatu
kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi
untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang
berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok
dalam berjalan, kepala mereka seperti punuk unta
yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk
surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun
bau surga tercium selama perjalanan sekian dan
sekian” (HR. Muslim). Dalam hadits ini,
disebutkan ciri wanita yang menjadi penduduk
neraka, yaitu wanita yang ia berpakaian namun
pada hakikatnya telanjang. Para ulama
menjelaskan maksudnya adalah wanita ini
memperlihatkan sebagian anggota tubuh mereka,
atau mengenakan pakaian yang tipis dan ketat
sehingga menggambarkan bentuk tubuhnya (lihat
Syarah Muslim An Nawawi).
Oleh karena itu, berdasarkan dalil-dalil yang telah
disebutkan, maka telah jelas wajibnya seorang
wanita untuk menutup aurat secara sempurna.
Sebagaimana perintah Allah yang lain, seperti
puasa dan sholat, maka menjalankan perintah
berjilbab pun wajib dijalankan oleh setiap
muslimah. Kita tidak boleh memilih-milih syari’at
berdasarkan hawa nafsu kita, yang sesuai dengan
hawa nafsu dijalankan, sedangkan yang
bertentangan ditinggalkan. Sebagaimana yang
dikisahkan Allah dalam firman-Nya (yang
artinya), “Apakah kamu beriman kepada sebagian
Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.
Allah tidak lengah dari apa yang kamu
perbuat” (QS Al Baqarah : 85).
Kriteria busana muslimah
Setelah kita mengetahui hukum berjilbab bagi
muslimah, maka perlu diketahui kriteria busana
seorang muslimah yang sesuai Al Qur’an dan
Sunnah. Tujuan utama pakaian muslimah adalah
untuk menutup aurat secara sempurna (yakni
seluruh tubuhnya). Hal ini sebagaimana firman
Allah dalam surat Al Ahzab ayat 59 yang sudah
disebutkan sebelumnya. Sehingga pakaian
tersebut tidak boleh tipis, membentuk lekuk tubuh
(ketat), diberi wewangian, dan tidak boleh berupa
pakaian perhiasan yang menarik perhatian. Allah
Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya dan menjaga
kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya… ” (QS : An Nuur : 31).
Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada kaum
muslimah untuk tidak menampakkan perhiasan
kepada laki-laki yang bukan mahramnya. Maka
tidak tepat jika Allah telah memerintahkan untuk
menyembunyikan perhiasan, namun malah
ditampakkan dalam bentuk pakaian itu sendiri
karena pakaian tersebut terlihat menarik perhtian.
Begitu pula pakaian muslimah tidak boleh diberi
wewangian karena Rasulullah mensifati wanita
yang mengenakan wewangian ketika keluar rumah
seperti wanita pezina sebagaimana sabda beliau,
“Perempuan mana saja yang memakai
wewangian, lalu melewati kaum pria agar mereka
mendapatkan baunya, maka ia adalah wanita
pezina ” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan
Ahmad, shahih).
Belum siap berjibab??
Sebagian muslimah enggan untuk mengenakan
jilbab karena berbagai alasan. Sebagian diantara
mereka beralasan karena belum siap untuk
mengenakannya. Hal tersebut tidak bisa dijadikan
alasan untuk tidak berjilbab. Bahkan konsekuensi
keimanan yang ia miliki mengharuskan dirinya
untuk menjalankan perintah Allah Ta’ala dan
menjauhi larangan-Nya. Ketidaksiapan bukanlah
alasan untuk tidak menjalankan perintah Allah.
Yang memerintahkan untuk berjilbab sama
dengan yang memerintahkan untuk sholat, zakat
dan haji, yaitu Allah Ta’ala . Maka mengapa
perintah sholat, zakat, dan haji bisa engkau
laksanakan namun perintah berjilbab tidak bisa
dilaksanakan?!
Selain itu ada juga yang beralasan dengan
menggunakan jilbab akan terasa panas, sulit
bergaul dan bekerja, serta alasan yang semisal
dengan itu. Hal tersebut juga tidak bisa
dibenarkan secara syari’at, bahkan hal itu
termasuk perbuatan mengikuti hawa nafsu. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah
sesat, sesat yang nyata .” (QS. Al Ahzab : 36).
Belajar dari kisah shahabiyah
Jika kita memperhatikan generasi terbaik umat
Islam, yaitu para sahabat, maka akan kita dapati
tingginya semangat mereka dalam mengamalkan
ajaran Islam. Hal ini karena besarnya keimanan
yang mereka miliki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda tentang mereka (yang
artinya), “Sebaik-baik manusia ialah pada
generasiku, kemudian generasi berikutnya,
kemudian generasi berikutnya ” (HR. Bukhari dan
Muslim). Salah satu kisah yang perlu menjadi
pelajaran tentang semangat mereka dalam
mengamalkan ajaran Islam khususnya syari’at
berjilbab adalah sebagaimana yang disebutkan
dalam Tafsir Ibnu Katsir, yaitu ketika menjelaskan
surat An-Nuur : 31.
Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
pernah berkata, “Semoga Allah merahmati wanita
Muhajirin yang pertama yang tatkala Allah Ta’ala
menurunkan ayat (yang artinya), ”Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dada
mereka..” mereka lantas merobek selimut mereka
lalu mereka berkerudung dengannya”. Demikianlah
keimanan para sahabat, ketika datang perintah
Allah, mereka tidak dengan berat hati untuk
langsung melaksanakannya. Dan inilah yang
harus kita contoh dalam kita beragama.
Kepala keluarga bertanggung jawab atas anggota
keluarganya
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala , setiap
manusia akan mati dan menghadapi pengadilan
Allah. Kita akan dimintai pertanggungjawaban
atas segala yang kita perbuat pada waktu hidup
di dunia. Salah satunya adalah terhadap rumah
tangga yang kita pimpin. Rasulullah bersabda,
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan akan ditanya
tentang kepemimpinannya. Maka imam adalah
pemimpin, dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Seorang laki-laki (kepala
rumah tangga) adalah pemimpin terhadap
keluaganya, dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya…. ” (HR. Bukhari).
Salah satu tugas kepala rumah tangga adalad untuk menjaga keluarganya agar tidak tererumus
dalam api neraka. Bahkan ini merupakan tugas utama yang harus diprioritaskan untuk diperhatikan. Allah berfirman (yang artinya), “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS At
Tahrim : 6).
Adh Dhohak dan Maqotil berkata, “Kewajiban bagi
seorang muslim adalah mengajari keluarganya,
termasuk kerabat dan budak laki-laki atau
perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib
yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah
larang” (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Dan termasuk
dari bentuk penjagaan dari api neraka adalah
dengan memerintahkan istri dan anak perempuan
kita untuk berjilbab. Karena seorang muslimah
yang tidak berjilbab merupakan bentuk dosa
besar. Dan dosa besar dapat mengantarkan
pelakunya ke dalam neraka. Sehingga jika
terdapat anggota keluarga kita yang masih belum
berjilbab, dan kita sebagai kepala keluarga tidak
berusaha untuk mendidiknya untuk ta’at kepada
Allah, maka tentu kita akan dimintai
pertanggungjawaban disisi Allah Ta’ala .
Demikian tulisan yang ringkas ini, mudah-
mudahan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca. Kita berdo’a kepada Allah semoga kita
termasuk ke dalam golongan hamba-hamba Allah
yang mendapatkan taufik dan hidayah-Nya
sehingga dapat senantiasa taat menjalankan
syari’at-Nya.
Continue reading →

Kenapa Harus Ber-Manhaj Salaf ?

0 komentar
Kenapa Harus Ber-Manhaj Salaf ?
Mungkin ini pertanyaan yang akan terbesit dalam
pikiran kita ketika baru pertama kali mengenal
Manhaj Salaf, berikut ini akan ana coba
paparkan kenapa kita harus bermanhaj salaf, dan
apa itu salaf. TAK KENAL MAKA TAK SAYANG,
itu pepatah yang tepat untuk mereka yang
membeci manhaj ini. Bacalah dengan kepala
dingin yak, tinggalkanlah sejenak hawa nafsumu
untuk menghujat. Artikel yang akan ana tulis ini
tidak lain bersumber dari Al-Qur'an, Hadits, dan
Situs-situs Salafy Tentunya.
Bismillah...
Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi
adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka
telah mendapat pujian langsung dari Allah dan
Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka
adalah orang-orang yang paling paham agama
dan paling baik amalannya sehingga kepada
merekalah kita harus merujuk.
Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat
merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan
salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan
minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang
terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al
Mu’jamul Wasith 2/957).
Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab
bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu
dari nenek moyang dan karib kerabat, yang
mereka itu di atasmu dalam hal usia dan
keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur
7/234).
Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para
imam terdahulu yang hidup pada tiga abad
pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-
murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid
tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii
Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr.
Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).
Sumber : http://www.asysyariah.com
Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf
adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang
terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh
para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam
memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang
mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy
atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As
Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As
Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang
berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin
Nubala 6/21).
Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf
(Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah
wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh
dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di
atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal
Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan
hadits dan atsar di saat orang-orang banyak
mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun
Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan
dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan
dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash),
disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah,
kelompok yang senantiasa ditolong dan
dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang
akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk
lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth
Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy
Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).
Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi
(terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah
tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan
sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan
kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu
dibangun di atas Al Quran dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan
pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang
berpegang teguh dengannya maka ia saudara
kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain.
Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan
manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para
sahabatnya.
Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus
diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim
di dalam memahami agamanya. Mengapa?
Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di
dalam Al Quran dan demikian pula yang
dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah
telah berwasiat kepada kita: “Kemudian jika
kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih
baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)
Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan
agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf
adalah sebagai berikut: 1. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman : “Tunjukilah kami jalan yang
lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)
Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah
orang-orang yang mengetahui kebenaran dan
berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap
orang yang lebih mengetahui kebenaran serta
lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia
lebih berhak untuk berada di atas jalan yang
lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
mereka adalah orang-orang yang lebih berhak
untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada
orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin,
1/72).
Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di
atas menunjukkan bahwa para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang
mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan
orang-orang yang lebih berhak menyandang
gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh
Allah” dan “orang-orang yang berada di atas
jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya
pengetahuan mereka tentang kebenaran dan
betapa konsistennya mereka dalam
mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa
manhaj yang mereka tempuh dalam memahami
dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan
di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang
yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak
mereka, berarti telah menempuh manhaj yang
benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan
barangsiapa menentang Rasul setelah jelas
baginya kebenaran, dan mengikuti selain
jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia
leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami
masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (An Nisa’: 115)
Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata:
“Para ulama telah menjelaskan tentang makna
firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang
dimaksud dengan orang-orang mukmin disini
adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat
ini, karena mereka merupakan orang-orang yang
menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih.
Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak
dipahami (darinya) dengan sebaik-baik
pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam pun telah menjawabnya dengan
jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan
keterangan yang sempurna. Dan mereka pun
mendengarkan (jawaban dan keterangan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
tersebut), memahaminya, mengamalkannya
dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan
menyampaikannya dengan penuh kejujuran.
Mereka benar-benar mempunyai keutamaan
yang agung atas kita. Yang mana melalui
merekalah hubungan kita bisa tersambungkan
dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
juga dengan Allah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun
Najah hal. 36-37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan
sungguh keduanya (menentang Rasul dan
mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –
red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang
menentang Rasul sesudah jelas baginya
kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan
orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang
mengikuti selain jalan orang-orang mukmin
maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas
baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang
mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As
Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara
menentang Rasul dengan mengikuti selain
jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah
disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus
mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.
Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di
dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita
telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan…
akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam
kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam
neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat
kembali… na’udzu billahi min dzaalik.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan
orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama
(masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan
Anshar, serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka
kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang
agung.” (At-Taubah: 100).
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak
mengkhususkan ridha dan jaminan jannah
(surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan
Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik pun
mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga
seperti mereka.
Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu
Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-
Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari
kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-
orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,
dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan
ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah
Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah
(surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan,
dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir,
2/367). Ini menunjukkan bahwa mengikuti
manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha
Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
ﻓَﺈِﻥْ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺑِﻤِﺜْﻞِ ﻣَﺎ ﺀَﺍﻣَﻨْﺘُﻢْ ﺑِﻪِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻫْﺘَﺪَﻭْﺍ ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﻮَﻟَّﻮْﺍ
ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﺷِﻘَﺎﻕٍ Artinya : "Maka jika mereka
beriman kepada apa yang kamu telah beriman
kepadanya, sungguh mereka telah mendapat
petunjuk; dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan
(dengan kamu)." [QS Al Baqoroh: 137]
Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut: 1.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “Sesungguhnya barang siapa di antara
kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia
akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh
karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang
teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’
Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-
erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi
geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi,
Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat
Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits
no. 2455). Dalam hadits ini dengan tegas
dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan
perselisihan yang begitu banyak di dalam
memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya
yang mengantarkan kepada keselamatan ialah
dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar
Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar
kita senantiasa berpegang teguh dengannya. Al
Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang
engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al
Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan
bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti
sunnah beliau adalah mengikuti sunnah
mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa
yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti
sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang
mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun
secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain
mereka.”(Al I’tisham, 1/118).
2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda : “Terus menerus ada sekelompok kecil
dari umatku yang senantiasa tampil di atas
kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka
orang-orang yang menghinakan mereka, sampai
datang keputusan Allah dan mereka dalam
keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan
Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim
dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang
tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits,
maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf
Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi,
hal. 36).
Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al
Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya
berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah
Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26,
37). Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad
Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini
merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian
(Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di
dalamnya beliau telah menyebutkan tentang
keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa
tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari
jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka
dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa
Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman,
sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan
kebenaran, tampil di atasnya dan
menerangkannya kepada umat manusia dengan
sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil
ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah,
sebagaimana yang telah disaksikan oleh
sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu
ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal
131).
Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang
yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah,
siapa saja yang ingin menjadi bagian dari
“sekelompok kecil” yang disebutkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam
hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj
salaf.
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “…. Umatku akan terpecah belah
menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam
neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya:
‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab:
golongan yang aku dan para sahabatku
mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam
Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil
Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash).
Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al
Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–
red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas
menjelaskan tentang tiga perkara: - Pertama,
bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan
berselisih dan menjadi golongan-golongan yang
berbeda pemahaman dan pendapat di dalam
memahami agama. Semuanya masuk ke dalam
neraka, dikarenakan mereka masih terus
berselisih dalam masalah-masalah agama
setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta
Alam. - Kedua, kecuali satu golongan yang Allah
selamatkan, dikarenakan mereka berpegang
teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan
keduanya tanpa adanya takwil dan
penyimpangan. - Ketiga, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan
yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia
hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri
(dalam hadits tersebut) yang tidak lagi
membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil
Hadits hal 78-79). Tentunya, golongan yang
ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj
salaf, karena mereka di dalam memahami dienul
Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah
dan para sahabatnya berada di atasnya.
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas,
dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa
manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj
yang harus diikuti di dalam memahami dienul
Islam ini, karena: 1. Manhaj salaf adalah manhaj
yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti
menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, yang berakibat akan diberi
keleluasaan untuk bergelimang di dalam
kesesatan dan tempat kembalinya adalah
Jahannam. 3. Orang-orang yang mengikuti
manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti
mendapat ridha dari Allah dan tempat
kembalinya adalah surga yang penuh dengan
kenikmatan, kekal abadi di dalamnya. 4. Manhaj
salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-
erat, tatkala bermunculan pemahaman-
pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam
memahami dienul Islam, sebagaimana yang
diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. 5. Orang-orang yang mengikuti
manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari
umat ini yang senantiasa tampil di atas
kebenaran, dan senantiasa mendapatkan
pertolongan dan kemenangan dari Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. 6. Orang-orang yang
mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan
yang selamat dikarenakan mereka berada di atas
jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika: 1. Al Imam Abdurrahman bin
‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk
mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang
menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/
pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka
mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang
indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri,
hal. 63). 2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin
Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti
atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan
hati-hatilah dari segala yang diada-adakan
dalam agama, karena ia adalah
bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal.
322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis
Salaf Sabilun Najah, hal. 54). 3. Al Imam Abul
Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus
Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih
dan meninggalkan segala yang diada-adakan
(dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits,
karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88). 4.
Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani
berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan
tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak
ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah,
2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li
Ahlil Hadits, hal. 88) 5. Al-Imam As Syathibi
berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj
salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al
Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al
Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57). 6.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak
tercela bagi siapa saja yang menampakkan
manhaj salaf, berintisab dan bersandar
kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati
wajib diterima, karena manhaj salaf pasti
benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga
berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah
meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa,
4/155).
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa
membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf
di dalam memahami dienul Islam ini,
mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya,
sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan
husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.
Wallahu a’lamu bish shawaab.
Continue reading →

Perlukah Melafadzkan Niat Dalam Salat ?

0 komentar
Perlukah melafadzkan Niat ?
Bismillah...
Artikel kali ini akan membahas kebiasaan
masyarakat yang sudah mendarah daging yaitu
wajibnya melafadzkan niat ketika ritual-ritual
tertentu ketika sholat berjamaah misalnya.
Sesusah itukah Islam ? Ketika mau beramal
harus mengucapkan niat yang panjang
bacaanya. Bukankah niat itu ada didalam hati
kita masing-masing bukan di lisan.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i
Rahimahullah ditanya:
“Apakah melafadzkan niat termasuk perkara
yang diada-adakan dalam agama (bid‘ah),
sementara di dalam kitab Al-Umm
disebutkan keterangan hal ini secara samar
(yakni niat harus dilafadzkan)? Jelaskan
pada kami tentang permasalahan ini.
Jawab: Melafadzkan niat teranggap sebagai
perbuatan yang diada-adakan dalam agama
(bid‘ah), sementara Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:
“Katakanlah: Apakah kalian akan
memberitahukan kepada Allah tentang
agama kalian?” (Al-Hujurat:16)
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam bersabda
kepada orang yang salah shalatnya:
“Apabila engkau berdiri untuk shalat, maka
bertakbirlah.”
Di sini beliau tidak mengatakan kepada orang
tersebut: “Katakanlah: aku berniat” (sebelum
mengucapkan takbir).
Ketahuilah bahwa ibadah shalat, wudhu`, dan
juga ibadah-ibadah yang lainnya memang tidak
sah kecuali dengan niat. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan ibadah seluruhnya haruslah ada
niat, berdasarkan sabda Rasulullah Sholallahu
'Alaihi Wassallam.
Namun perlu diketahui, tempat niat itu di hati
dan keliru apabila dikatakan bahwa di dalam
kitab Al-Umm disebutkan tentang melafadzkan
niat. Ini salah, bahkan hal ini tidak ada di dalam
kitab Al-Umm tersebut. (Ijabatus Sa-il, hal. 27)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah :
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam bila berdiri
untuk shalat, beliau langsung mengucapkan
takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun
sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama
sekali. Beliau juga tidak mengatakan:
Aku tunaikan untuk Allah shalat ini dengan
menghadap kiblat empat rakaat sebagai
imam atau makmum.
Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang
diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada
seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam baik dengan
sanad yang sahih, dha’if, musnad (bersambung
sanadnya) atau pun mursal (terputus sanadnya).
Bahkan tidak ada nukilan dari para shahabat.
Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari
kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang
menganggap baik hal ini.
Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang
sekarang) keliru dalam memahami ucapan Al-
Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala meridhainya– tentang shalat. Beliau
mengatakan: “Shalat itu tidak seperti zakat.
Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini
kecuali dengan dzikir.” Mereka menyangka
bahwa dzikir yang dimaksud adalah ucapan niat
seorang yang shalat. Padahal yang dimaksudkan
Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu
wa Ta'ala merahmatinya– dengan dzikir ini tidak
lain adalah takbiratul ihram.
Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i
Rahimahullah menyukai perkara yang tidak
dilakukan oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassallam
dalam satu shalat pun, begitu pula oleh para
khalifah beliau dan para shahabat yang lain.
Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau
ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada
kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini,
maka kita akan menerimanya dan
menyambutnya dengan ketundukan dan
penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang
lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan
tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari
pembawa syariat Shalallahu 'Alaihi Wassallam .
(Zadul Ma’ad, 1/201)
Continue reading →

Larangan Isbal Atau Celana Menutup Mata Kaki

0 komentar
Larangan Isbal atau Celana
menutup mata Kaki
Bismillah...
Isbal, mungkin istilah ini masih terdengar asing
oleh kalian. Isbal itu adalah menjulurkan pakaian
(celana atau sejenisnya) yang melewati mata
kaki, tanpa disadari hal yang dianggap sepele
dan gaya ala kampungan(Orang awam sering
bilang) ini bisa ber-Efek mengerikan di akhirat.
Berikut akan ana coba paparkan dalil-dalilnya :
Hadits dari Abu Huroiroh Radhiallahu'anhu yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori Rahimallah.
ﻣَﺎ ﺃَﺳْﻔَﻞَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦ ِ ﻣِﻦَ ﺍﻹﺯَﺍﺭِ ﻓَﻔِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah
kedua mata kaki itu berada di dalam
neraka.” (HR. Al-Bukhori (no. 5787)
Dan Haditsnya ‘Aisyah Radhiallahu'anha yang
dikeluarkan oleh Imam Ahmad [dalam kitab
Musnad-nya (6/59,257)]1, bahwasanya
Rosululloh Shalallahu 'Alaihi Wassallam
bersabda:
ﻣَﺎ ﺗَﺤْﺖَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺐِ ﻣِﻦَ ﺍﻹﺯَﺍﺭِ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah
mata kaki itu berada di dalam neraka.”
Dan dari Abu Dzarr, ia berkata Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi Wassallam mereka bersabda:
"Tiga golongan yang Allah pada hari
kiamat, tidak memandang tidak berbicara
kepada kepada mereka, tidak membersihkan
mereka dan bagi mereka siksa yang pedih:
(1) Orang yang menyebut-nyebut (untuk
menyakiti) dengan apa yang telah dia
berikan, (2) Orang yang mengulurkan
sarungnya (hingga menutup mata kaki), (3)
Orang yang menjual barangnya dengan
sumpah palsu." (HR. Muslim 106)
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassallam
bersabda,
"Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya
karena sombong niscaya Allah tidak
memandang kepadanya di hari
kiamat." (HR. HR. al-Bukhari3665 dan
Muslim 2085)
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassallam
bersabda,
'Jauhilah memanjangkan sarung maka
sungguh ia termasuk sikap sombong." (HR.
Ahmad 4/65, 5/63, 64, 377, Abu Daud 4084,
an-Nasa`I dalam al-Kubra 9691,9693, Ibnu
Hibban 521-522 dan dishahihkan oleh
Syaikh Albani sebagaimana dalam Shahih
Sunan Abu Daud 3442.
Kalaulah tidak karena sombong hadits ini tetap
berlaku karena banyaknya hadits yang melarang
secara umum. Namu apabila masih ada yang
beranggapan tidak mengapa apabila tidak karena
sombong sungguh Mereka sudah termasuk
SOMBONG yaitu sombong menolak Sunnah
Rosululloh Sholallahu 'Alaihi Wassallam.
Continue reading →

Lindungi Diri Dengan Jilbab Syar'i

0 komentar
Lindungi Diri Dengan
Jilbab Syar‘i
Islam mewajibkan seorang wanita
untuk dijaga dan dipelihara dengan
sesuatu yang tidak sama dengan
kaum laki-laki. Wanita dikhususkan
dengan perintah untuk berhijab
(menutup diri dari laki-laki yang bukan
mahram). Baik dengan mengenakan
jilbab, maupun dengan betah tinggal
di rumah dan tidak keluar rumah
kecuali jika ada keperluan, berbeda
dengan batasan hijab yang diwajibkan
bagi laki-laki.
Allah ta‘ala telah menciptakan wanita
tidak sama dengan laki-laki. Baik
dalam postur tubuh, susunan
anggota badan, maupun kondisi
kejiwaannya. Dengan hikmah Allah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal, kedua jenis ini telah
memunculkan perbedaan dalam
sebagian hukum-hukum syar‘i, tugas,
serta kewajiban yang sesuai dengan
penciptaan dan kodrat masing-
masing sehingga terwujudlah
kemaslahatan hamba, kemakmuran
alam, dan keteraturan hidup.
Wanita telah digariskan menjadi
lentera rumah tangga sekaligus
pendidik generasi mendatang. Oleh
karena itu, ia harus menjaga
kesuciannya, memiliki rasa malu yang
tinggi, mulia, dan bertaqwa. Telah
dimaklumi bahwa seorang wanita
yang berhijab sesuai dengan apa yang
dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya,
maka tidak akan diganggu orang yang
dalam hatinya terdapat keinginan
untuk berbuat tidak senonoh, serta
akan terhindar dari mata-mata
khianat.
Pengertian Jilbab
Ada beberapa pendapat di kalangan
ulama tentang definisi jilbab. Ibnu
Rajab mengatakan jilbab itu mala-ah
(kain yang menutupi seluruh tubuh
dari kepala sampai kaki yang dipakai
melapisi baju bagian dalamnya,
seperti jas hujan). Pendapat ini juga
dipilih oleh al-Baghawi dalam
tafsirnya dan al-Albani. Ada juga yang
berpendapat jilbab itu sama dengan
khimar alias kerudung sebagaimana
disebutkan oleh an-Nawawi, Ibnu
Hajar, dll. As-Sindi mengatakan,
“Jilbab adalah kain yang digunakan
oleh seorang perempuan untuk
menutupi kepala, dada, dan
punggung ketika keluar rumah.”
Syarat Jilbab
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albani, seorang tokoh besar modern
dalam bidang hadits, telah melakukan
penelitian terhadap ayat-ayat al-
Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta
atsar-atsar para ulama terdahulu
mengenai masalah yang penting ini.
Beliau mengatakan bahwa seorang
wanita hanya diperbolehkan keluar
dari rumahnya (begitu pun apabila di
dalam rumahnya terdapat laki-laki
yang bukan mahramnya) dengan
mengenakan jilbab, yaitu berbagai
jenis pakaian yang telah memenuhi
syarat-syarat berikut ini:
Syarat pertama: menutupi seluruh
tubuh kecuali bagian yang
dikecualikan
Syarat ini tercantum dalam firman
Allah ta‘ala , surat An-Nuur, ayat 31
ْﻞُﻗَﻭ َﻦْﻀُﻀْﻐَﻳ ِﺕﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻠِﻟ ﻣِﻦْ
ﺃَﺑْﺼَﺎﺭِﻫِﻦَّ َﻦْﻈَﻔْﺤَﻳَﻭ َّﻦُﻬَﺟﻭُﺮُﻓ ﻻَﻭ
ﻳُﺒْﺪِﻳﻦَ َّﻦُﻬَﺘَﻨﻳِﺯ ﺎَﻣ ﻻِﺇ ﺎَﻬْﻨِﻣ َﺮَﻬَﻇ
ﺑِﺨُﻤُﺮِﻫِﻦَّ َﻦْﺑِﺮْﻀَﻴْﻟَﻭ َّﻦِﻬِﺑﻮُﻴُﺟ ﻰَﻠَﻋ
ﻻَﻭ َﻦﻳِﺪْﺒُﻳ َّﻦُﻬَﺘَﻨﻳِﺯ َّﻦِﻬِﺘَﻟﻮُﻌُﺒِﻟ ﻻِﺇ ْﻭَﺃ
ﺃَﻭْ َّﻦِﻬِﺋﺎَﺑﺁ ِﺀﺎَﺑﺁ ْﻭَﺃ َّﻦِﻬِﺘَﻟﻮُﻌُﺑ َّﻦِﻬِﺋﺎَﻨْﺑَﺃ
ﺃَﻭْ ِﺀﺎَﻨْﺑَﺃ ْﻭَﺃ َّﻦِﻬِﺘَﻟﻮُﻌُﺑ َّﻦِﻬِﻧﺍَﻮْﺧِﺇ ْﻭَﺃ
ﻲِﻨَﺑ ْﻭَﺃ َّﻦِﻬِﻧﺍَﻮْﺧِﺇ ﻲِﻨَﺑ َّﻦِﻬِﺗﺍَﻮَﺧَﺃ ْﻭَﺃ
ﻧِﺴَﺎﺋِﻬِﻦَّ ْﻭَﺃ ﺎَﻣ َّﻦُﻬُﻧﺎَﻤْﻳَﺃ ْﺖَﻜَﻠَﻣ ِﻭَﺃ
ﺍﻟﺘَّﺎﺑِﻌِﻴﻦَ ﻲِﻟﻭُﺃ ِﺮْﻴَﻏ َﻦِﻣ ِﺔَﺑْﺭﻹﺍ
ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ِﻞْﻔِّﻄﻟﺍ ِﻭَﺃ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ْﻢَﻟ ﺍﻭُﺮَﻬْﻈَﻳ
ﻰَﻠَﻋ ِﺕﺍَﺭْﻮَﻋ ِﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ ﻻَﻭ َﻦْﺑِﺮْﻀَﻳ
ﺑِﺄَﺭْﺟُﻠِﻬِﻦَّ ﻟِﻴُﻌْﻠَﻢَ ﺎَﻣ ْﻦِﻣ َﻦﻴِﻔْﺨُﻳ
ﺯِﻳﻨَﺘِﻬِﻦَّ ﺍﻮُﺑﻮُﺗَﻭ ﻰَﻟِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﺎًﻌﻴِﻤَﺟ
ﺎَﻬُّﻳَﺃ َﻥﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ْﻢُﻜَّﻠَﻌَﻟ َﻥﻮُﺤِﻠْﻔُﺗ
“ Katakanlah kepada wanita yang
beriman, ‘Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak darinya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung
(khimar) ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka,
atau putra-putra suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara
lelaki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan
kakinyua agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu
beruntung.’” (Qs An Nuur: 31)
Begitu juga surat Al-Ahzaab, ayat 59,
“ Hai Nabi, katakanlah kepada istri-
istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.’ Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Para ulama salaf dari kalangan
sahabat dan tabi‘in memang berselisih
pendapat mengenai tafsir “… dan
janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak darinya …” (Qs An-Nuur: 31).
Ada yang berpendapat bahwa
perhiasan yang boleh nampak adalah
pakaian bagian luar yang dikenakan
wanita karena tidak mungkin
disembunyikan, sebagaimana
perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir dalam
tafsirnya. Sedangkan Ibnu Jarir
rahimahullah lebih memilih wajah
dan kedua telapak tangan sebagai
perhiasan yang boleh ditampakkan,
karena keduanya bukan termasuk
aurat. Al-Albani juga berpendapat
bolehnya seorang wanita
menampakkan wajah dan kedua
telapak tangan, namun beliau
mengingatkan bahwa pendapat
tersebut dibangun dengan syarat
pada bagian wajah dan telapak
tangan tidak terdapat perhiasan.
Apabila terdapat perhiasan pada dua
bagian tubuh tersebut seperti cincin,
make up, dan lain-lain maka
keduanya harus ditutupi, berdasarkan
keumuman firman Allah ta’ala, “…
dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya …” (Qs
An-Nuur: 31).
Syarat kedua: bukan untuk berhias
Tujuan utama perintah memakai
jilbab adalah untuk menutupi
perhiasannya, sebagaimana dalil di
atas. Oleh karena itu, jilbab yang
dikenakan seorang wanita tidak boleh
diperindah dengan perhiasan
sehingga menarik perhatian dan
pandangan kaum laki-laki. Fenomena
memperindah pakaian yang
dikenakan seorang muslimah ketika
keluar rumah banyak terjadi di tengah
masyarakat, contohnya adalah
bordiran warna-warni, payet, pita
sulam emas serta perak yang
menyilaukan mata, dan lain
sebagainya. Adapun warna pakaian
selain putih dan hitam bukanlah
termasuk kategori perhiasan,
berdasarkan riwayat-riwayat yang
menceritakan bahwa istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengenakan jubah berwarna merah.
Syarat ketiga dan keempat: bahannya
tebal, tidak transparan, dan tidak
menampakkan lekuk tubuh
Agar dapat tercapai tujuan
tertutupnya aurat, maka jilbab yang
dikenakan harus tebal dan tidak
transparan yang dapat
memperlihatkan warna kulit dan
rambut. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata, “Khimar adalah sesuatu
yang dapat menyembunyikan kulit
dan rambut .”
Selain tebal, pakaian tersebut juga
tidak menggambarkan lekuk tubuh.
Terkadang ada bahan pakaian yang
tebal namun sangat halus sehingga
melekat pada tubuh, atau bisa jadi
karena ukurannya yang ketat sehingga
nampak lekuk tubuh si pemakai.
Usamah bin Zaid berkata, “ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadaku, ‘Mengapa
engkau tidak mengenakan baju
Qubthiyah yang telah kuberikan?’
‘Aku memberikannya kepada
istriku,’ jawabku . Maka beliau
berpesan, ‘Perintahkanlah istrimu
agar memakai pakaian bagian dalam
sebelum mengenakan baju
Qubthiyah itu. Aku khawatir baju itu
akan menggambarkan lekuk
tubuhnya.’” (HR. Ahmad dan al-
Baihaqi, hasan).
Syarat kelima: tidak ditaburi
wewangian atau parfum
Kaum wanita dilarang menggunakan
wewangian ketika keluar rumah
berdasarkan banyak hadits. Salah
satunya adalah hadist Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu : “ Seorang wanita
melintas di hadapan Abu Hurairah
dan aroma wewangian yang
dikenakan wanita tersebut tercium
olehnya. Abu Hurairah pun
bertanya, ‘Hai hamba wanita milik
Al-Jabbar (Allah ta’ala)! Apakah
kamu hendak ke masjid?’ ‘Benar,’
jawabnya. Abu Hurairah lantas
bertanya lagi, ‘Apakah karena itu
kamu memakai parfum?’ wanita
tersebut menjawab, ‘Benar.’ Maka
Abu Hurairah berkata, ‘Pulang dan
mandilah kamu! Sungguh, aku
pernah mendengar Rasulullah
shallallhu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Allah tidak akan
menerima shalat wanita yang
keluar menuju masjid sementara
bau wangi tercium darinya, hingga
ia kembali ke rumahnya dan
mandi.’” (HR. Al-Baihaqi, shahih)
Hadits ini menunjukkan haramnya
seorang wanita keluar menuju masjid
dengan memakai wewangian. Lalu
bagaimana hukumnya jika wanita
tersebut hendak menuju tempat
perbelanjaan, perkantoran atau
jalanan umum? Tentu tidak diragukan
lagi keharaman dan dosanya lebih
besar walaupun seandainya suaminya
mengizinkan.
Syarat keenam: tidak menyerupai
pakaian laki-laki
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu , ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat pria yang memakai
pakaian wanita, dan wanita yang
memakai pakaian pria .” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, dan
Ahmad, shahih)
Adz-Dzahabi rahimahullah
menggolongkan perbuatan
menyerupai lawan jenis ( tasyabbuh)
termasuk dosa besar, berdasarkan
kandungan hadits-hadits shahih dan
ancaman keras yang disebutkan di
dalamnya. Tasyabbuh yang dilarang
dalam Islam berdasarkan dalil-dalil
meliputi masalah pakaian, sifat-sifat
tertentu, tingkah laku, dan yang
semisalnya, bukan dalam hal perkara-
perkara kebaikan. Alasan
ditimpakannya laknat bagi pelaku
tasyabbuh menurut Syaikh Abu
Muhammad bin Abu Jumrah adalah
karena orang tersebut telah keluar
dari tabi’at asli yang Allah ta’ala
karuniakan bagi dirinya.
Syarat ketujuh: tidak menyerupai
pakaian wanita kafir
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sungguh,
barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum maka ia termasuk golongan
mereka .” (HR. Ahmad, hasan)
Meniru-niru penampilan lahiriah
kaum musyrikin akan menghantarkan
pada kesamaan akhlak dan
perbuatan. Terdapat kaitan erat
antara penampilan luar seseorang
dengan keimanan yang ada dalam
batin, keduanya akan saling
mempengaruhi.
Syarat kedelapan: bukan merupakan
pakaian yang mengundang sensasi di
masyarakat (pakaian syuhrah )
Jilbab yang dipakai wanita muslimah
tidak boleh mengundang sensasi atau
nyeleneh, sehingga menjadi pusat
perhatian orang, baik pakaian tersebut
pakaian yang sangat mewah maupun
murahan. Adapun penampilan yang
sesuai dengan syari‘at namun
berbeda dengan masyarakat pada
umunya maka bukan termasuk dalam
pakaian syuhrah.
“Barangsiapa yang memakai
pakaian syuhrah di dunia, maka
Allah akan memakaikan pakaian
(kehinaan) yang serupa baginya
pada hari kiamat, lalu Allah akan
menyulutkan api pada pakaian
itu.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah, hasan)
Kedelapan syarat di atas harus
terpenuhi seluruhnya untuk mencapai
makna jilbab yang dimaksudkan
dalam Islam. Hendaklah kaum
mukminah bersegera melaksanakan
apa yang Allah ta’ala perintahkan,
salah satunya yaitu untuk
mengenakan jilbab sebagai bentuk
ketaatan kepada Allah ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Cukuplah para shahabiyah di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai teladan bagi kita
dalam melaksanakan perintah Allah
ta’ala , sebagaimana yang dikatakan
oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ,
“ Sungguh wanita-wanita Quraisy
memiliki keutamaan. Namun demi
Allah, aku belum pernah
menjumpai kaum wanita yang lebih
utama, membenarkan kitabullah,
dan lebih kuat keimanannya
terhadap apa yang diturunkan Allah
daripada wanita Anshar. Ketika
Allah menurunkan surat An-Nuur
(ayat 31), ‘Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke
dadanya,’ para laki-laki Anshar
pulang untuk membacakan ayat
tersebut kapada istri, putri,
saudarinya, serta para kerabatnya.
Setelah mendengarnya, mereka
pun langsung bangkit mengambil
kain tirai rumahnya (lebar dan
tebal), lalu menjadikannya
kerudung; sebagai bentuk
pembenaran dan keimanan
terhadap hukum yang Allah ta’ala
turunkan melalui kitab-Nya.”
Ya Allah, tutupilah aurat kami (aib dan
sesuatu yang tidak layak dilihat orang)
dan tentramkanlah kami dari rasa
takut.
Wa shallallaahu ‘ala nabiyyina
Muhammadin walhamdu lillaahi
Rabbil ‘aalamin.
Continue reading →
Tuesday 19 November 2013

Panduan Membuat Blog Dengan Gratis Dan Mudah

0 komentar
Panduan dan Tutorial
Cara Membuat Blog -
Blogger
‹ Beranda
Lihat versi web
Cara Membuat Blog Gratis di
Blogger
Cara membuat blog gratis di blogger -
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama
bahwa banyak cara atau layanan untuk membuat
blog gratis diantaranya adalah blogger/blogspot,
wordpress, joomla, blog detik dan lain-lain.
Namun pada kesempatan ini, saya akan
membahas bagaimana cara membuat blog
khususnya blog yang berplatform blogger.
Sebelum membahas lebih jauh tentang cara
membuat blog, ada baiknya saya juga
menjelaskan sedikit pengertian blog. Blog pada
dasarnya disebut sebagai "Web Blog" yang
merupakan salah satu aplikasi web yang mana
postingan atau artikel yang diposting didalam
blog sering sekali berurutan, yaitu dari tulisan
terbaru hingga tulisan yang paling lama.
Sebelum blogger/blogspot berkembang seperti
sekarang, blog pada umumnya sering dijadikan
sebagai diary online yang di isi dengan catatan-
catan harian. Namun dizaman modern seperti
sekarang ini, blog juga dapat dijadikan sebagai
mesin penghasil uang (baca: cara mendapatkan
uang dari blog). Hal ini mungkin yang menjadi
salah satu alasan mengapa orang mulai
membuat blog . Terlepas dari itu, sebenarnya
kegiatan blogging adalah tergantung dari niat si
pemilik blog, apakan untuk mencari tambahan
uang saku atau ada hal yang lainnya.
Syarat utama sebelum Anda membuat blog di
blogger adalah memiliki alamat email yang
masih aktif, jika Anda belum membuat email,
silahkan baca tutorialnya di cara membuat email
di gmail atau membuat email di yahoo. Sekarang
saya asumsikan bahwa Anda sudah memiliki
alamat emai di gmail, untuk itu kita langsung
saja untuk membuat blog .
1. Silahkan Anda kunjungi http://blogger.com/
2. Kemudian lihat di kanan bawah, rubah bahasa
menjadi bahasa indonesia agar lebih mudah
3. Masuk/login menggunakan username/nama
pengguna serta password gmail anda ( akun
email anda bisa juga untuk login ke blogger).
4. Isilah formulir data Anda yang terlampir
seperti:
Nama tampilan : isi dengan
nama yang akan ditampilkan
pada profile blog anda.
Jenis Kelamin : pilih jenis
kelamin Anda, misalnya: Pria.
Penerimaan Persyaratan : Ceklis
sebagai tanda anda setuju
dengan peraturan yang telah di
tetapkan oleh pihak blogger.
Sebaiknya baca terlebihdahulu
persyaratan dan ketentuan yang
diberikan pihak blogger agar
Anda mengerti.
5. Klik tanda panah bertuliskan “Lanjutkan”.
Kemudian klik "Blog Baru"
6. Selanjutnya isi formulir data blog Anda pada
form yang disediakan seperti:
Judul : Isi dengan judul blog
yang Anda inginkan, misal :
Panduan dan Tutorial Blogger
Alamat : isi dengan alamat blog
yang di inginkan.
Template : pilih template
(tampilan blog) yang Anda
disukai
7. Lanjutkan dengan klik tombol “Buat blog!”.
8. Sampai tahap ini blog Anda sudah selesai
dibuat, namun untuk menghindari anggapan
spam oleh google sebaiknya anda mulai
membuat artikel, minimal 1 postingan. Untuk
membuat postingan/artikel ikuti tutorial blog
berikut ini.
9. Klik tulisan "Mulai memposkan
10. Isi judul dan artikel yang ingin Anda postkan
di blog
11. Setelah tulisan Anda selesai lalu klik
"pratinjau" untuk melihat hasil sementara, jika
sudah sesuai maka klik "publikasikan"
12. Selesai dan saya ucapkan "Selamat"
publikasikan juga bog baru Anda pada sahabat
atau orang terdekat Anda bahwa sekarang anda
sudah memiliki blog.
Demikian yang dapat saya sampaikan mengenai
tutorial cara membuat blog gratis di blogger,
semoga bermanfaat. Pastikan Anda selalu setia
mengunjung super blog pedia untuk
mendapatkan tutorial blogger terbaru dan
informasi lainnya. Jika anda tidak ingin
ketinggalan artikel yang akan saya posting pada
kesempatan berikutnya, silahkan berlangganan
atikel via email gratis, bergabung dan me-like
fanspage facebook super blog pedia. Jika Anda
ingin membuat toko online di blogger, baca
tutorialnya di halaman cara membuat toko
online .
Continue reading →

Apakah Penghalang Ittiba Yang Nampak Pada Ajaran Islam

0 komentar
Penghalang Ittiba’ (1) : Kebodohan Terhadap
Ajaran Agama::.
Ittiba’ artinya meneladani dan mencontoh Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam di dalam keyakinan,
perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-perkara
yang ditinggalkan oleh beliau. Di sana ada banyak
hal yang menghalangi seorang hamba dari ittiba’
kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan
benar. Yang paling nampak adalah:
1. Kebodohan Terhadap Ajaran Agama
Kebodohan adalah penghalang terbesar dari ittiba’.
Bahkan ia adalah sebab terbesar yang
menjerumuskan seseorang ke dalam seluruh
perkara yang haram, baik berupa kekufuran, bid’ah
maupun kemaksiatan.1 Kebodohan itu bisa berupa
kebodohan terhadap nash-nash, yaitu tidak
mengetahui nash-nash tersebut. Atau kebodohan
terhadap kedudukan nash-nash tersebut di dalam
agama-bahwa nash-nash itulah yang berhak
didahulukan, sedangkan sumber-sumber yang lain
mengikutinya. Atau kebodohan terhadap
penunjukan lafadz, maksud-maksud syariat dan
kaidah-kaidah serta landasan-landasan dalam
ilmu, seperti mutlaq dan muqayyad, umum dan
khusus, nasikh dan mansukh, mujmal dan
mubayyan.2
Dan karena besarnya bahaya kebodohan ini, kita
dapati al-Qur’an al-Karim dan sunnah shahihah
penuh dengan nash-nash yang memberikan
peringatan dari kebodohan dan menjelaskan
bahayanya, serta memberi anjuran untuk berilmu
dan menjelaskan keutamaannya.
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
ﻗُﻞْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺭَﺑِّﻲَ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺣِﺶَ ﻣَﺎ ﻇَﻬَﺮَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻄَﻦَ ﻭَﺍﻟْﺈِﺛْﻢَ
ﻭَﺍﻟْﺒَﻐْﻲَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﺃَﻥْ ﺗُﺸْﺮِﻛُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻨَﺰِّﻝْ ﺑِﻪِ
ﺳُﻠْﻄَﺎﻧًﺎ ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Katakanlah, sesungguhnya Rabbku hanyalah
mengharamkan perbuatan-perbuatan keji yang lahir
maupun batin, mengharamkan perbuatan dosa,
kezhaliman tanpa hak, mengharamkan kalian
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak ada
bukti padanya dan Dia mengharamkan kalian
berkata atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian
ketahui” (QS. Al-A’raaf: 33)
As-Sa’di berkata, “Dan Dia mengharamkan kalian
berkata atas nama Allah, sesuatu tidak kalian
ketahui, di dalam nama-namaNya, sifat-sifatNya,
perbuatan-perbuatanNya dan syariatNya.”3
Ibnul Qayyim berkata, “Adapun berbicara atas
nama Allah tanpa ilmu, maka ini adalah perkara
yang paling haram dan paling besar dosanya. Oleh
karena itu, dia disebutkan pada tingkatan yang ke
empat di antara perkara-perkara haram yang telah
disepakati keharamannya oleh berbagai syariat dan
agama, dan tidak dibolehkan sama sekali, bahkan
senantiasa diharamkan. Kemudian beralih darinya
kepada sesuatu yang lebih besar lagi. Yaitu Allah
Ta’ala berfirman,
ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“dan Dia mengharamkan kalian berkata atas nama
Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui”
Maka ini lebih besar keharamannya dan lebih berat
dosanya di sisi Allah. Karena mengandung
kedustaan atas nama Allah, penisbatan Allah
kepada sesuatu yang tidak layak bagiNya,
perubahan dan penggantian terhadap agamaNya,
penolakan terhadap apa yang Dia tetapkan,
penetapan terhadap apa yang Dia tiadakan,
pembenaran sesuatu yang Dia batalkan,
pembatalan sesuatu yang Dia benarkan,
permusuhan terhadap wali-waliNya, kecintaan
terhadap musuh-musuhNya, kecintaan terhadap
apa yang Dia benci, kebencian terhadap apa yang
Dia cintai, pensifatan Allah dengan sesuatu yang
tidak layak bagiNya di dalam dzatNya, sifat-
sifatNya, perkataan-perkataanNya dan perbuatan-
perbuatanNya. Maka tidak ada jenis keharaman
yang lebih besar dan lebih berat di sisi Allah dari
pada hal ini. Dia adalah pangkal kesyirikan dan
kekufuran, pondasi bid’ah dan kesesatan. Maka
seluruh bid’ah yang menyesatkan di dalam agama,
pondasinya adalah perkataan atas nama Allah
tanpa ilmu …”4
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊَ ﻭَﺍﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻭَﺍﻟْﻔُﺆَﺍﺩَ ﻛُﻞُّ
ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻨْﻪُ ﻣَﺴْﺌُﻮﻻً
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu
tidak memiliki ilmunya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan dimintai pertanggungjawaban darinya” (QS.
Al-Isra: 36)
Sayyid Quthb berkata, “Aqidah Islamiyah adalah
aqidah yang jelas, lurus dan murni. Tidak ada
sedikitpun darinya yang tegak di atas persangkaan,
dugaan atau syubhat. “Dan janganlah kamu
mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki
ilmunya,” janganlah engkau mengikuti sesuatu yang
tidak engkau ketahui dengan yakin dan belum
engkau pastikan kebenarannya, baik berupa
perkataan atau riwayat yang disampaikan, dari
suatu zhahir yang ditafsirkan atau kenyataan yang
dijelaskan sebabnya, dan dari hukum syar’i atau
masalah keyakinan.”5
Dari Abdullah bin Amr, dia berkata, Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻻَ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋًﺎ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ
ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﺍﺗَّﺨَﺬَ
ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺭُﺀُﻭﺳًﺎ ﺟُﻬَّﺎﻻً ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ
ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara
langsung dari hamba-hambaNya. Akan tetapi, Dia
mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama.
Sehingga jika tidak menyisakan seorang alim pun,
manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh.
Lalu mereka ditanya kemudian berfatwa (menjawab
pertanyaan) tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan
menyesatkan”6
Dari Ali radhiallahu’anhu, dia berkata tentang sifat
orang-orang khawarij, aku mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
ﺳَﻴَﺨْﺮُﺝُ ﻓِﻲ ﺁﺧِﺮِ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥِ ﻗَﻮْﻡٌ ﺃَﺣْﺪَﺍﺙُ ﺍْﻷَﺳْﻨَﺎﻥِ ﺳُﻔَﻬَﺎﺀُ
ﺍْﻷَﺣْﻠَﺎﻡِ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﺮِ ﻗَﻮْﻝِ ﺍﻟْﺒَﺮِﻳَّﺔِ ﻳَﻘْﺮَﺀُﻭﻥَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻻَ
ﻳُﺠَﺎﻭِﺯُ ﺣَﻨَﺎﺟِﺮَﻫُﻢْ ﻳَﻤْﺮُﻗُﻮﻥَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻤْﺮُﻕُ ﺍﻟﺴَّﻬْﻢُ ﻣِﻦْ
ﺍﻟﺮَّﻣِﻴَّﺔِ
“Pada akhir zaman nanti akan keluar suatu kaum
yang masih muda umurnya, bodoh pikirannya.
Mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan
makhluk, mereka membaca al-Qur’an namun tidak
melampaui tenggorokan mereka. Mereka melesat
menembus agama ini sebagaimana anak panah
menembus sasarannya …”7
Di antara perkataan salaf tentang hal itu, dari Ibnu
Mas’ud radhiallahu’anhu, dia berkata,
“Pergilah kamu sebagai pengajar atau pelajar atau
yang mendengarkan. Dan janganlah kamu menjadi
orang yang ke empat, nanti kamu akan binasa.”8
Dari Salman Al-Farisi rahimahullah, dia berkata,
“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama
orang-orang yang pertama masih ada sehingga
orang yang terakhir mempelajari ilmu. Jika orang-
orang yang pertama telah meninggal sebelum
orang-orang yang akhir mempelajari ilmu, niscaya
manusia akan binasa.”9
Catatan Kaki
1 Lihat Haqiqatul Bid’ah wa Ahkamuha karya Al-
Ghamidi (1/177, 178, …).
2 Tafsir As-Sa’di (3/22).
3 Lihat Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (14/22).
4 Madarijus Salikin (1/378).
5 Fii Zhilaalil Qur’an (4/2227).
6 Al-Bukhari dengan Fathul Bari (1/23) no. 100.
7 Muslim (2/746, 747) no. 1066.
8 Ad-Darimi (1/84) no. 252.
9 Idem (1/84) no. 253.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Continue reading →

Kampanye Anti Syi'ah Di Indonesia

0 komentar
Kampanye Anti Syi'ah - Baliho Besar "Syi'ah Bukan
Islam" di Ngampilan Yogyakarta.
Semoga kota-kota lain segera menyusul....!
-
:::YOGYAKARTA BERSERU "GANYANG SYIAH":::
Sabiluna News - ISLAM Bersatu Muallaf Berseru -
Tidak hanya di Makassar, Surabaya, Jakarta,
Bandung, Cirebon, Semarang, dan surabaya yang
menolak aksi Madrasah Asyura Nasional 2013
(1435H).
Poster poster bertuliskan Syiah Bukan Islam
tersebar di kota yogyakarta, mulai dari masjid,
pinggir jalan, angkringan dan dimana pesan moral
tulisan (Syiah Bukan Islam) itu terlihat.
Pemuda serta umat islam Yogyakarta menyerukan
untuk mewasdai ajaran Mut'ah Sex'te Syiah
Laknatulloh, dan siap menghadapi syiah bila
mereka (syiah) berani menunjukkan taringnya di
kota Gudek tersebut.
Dan Muslimin Yogyakarta berpesan "Lindungi
Keluarga anda Dari Propaganda Sesat Syiah"
Continue reading →

Hukum Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahadu Menurut Ulama Salaf

0 komentar
1. Menggerakkan Jari Telunjuk ketika Duduk
Tasyahhud
Dalam hadits riwayat Muslim dan Abu Uwanah
disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam merenggangkan telapak tangan kiri diatas
lutut kirinya. Tetapi Beliau Shallallahu Alaihi wa
Sallam menggenggam semua jari tangan
kanannya dan mengacungkan telunjuknya ke
kiblat. Lalu mengarahkan pandangan mata ke
telunjuknya.
Pada riwayat yang sama disebutkan bahwa
ketika Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam
mengacungkan telunjuknya ibu jarinya
memegang jari tengah. Terkadang ibu jari dan
jari tengahnya membentuk lingkaran.
Abu Daud dan Nasa’i meriwayatkan bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam menggerak-
gerakkan jari telunjuknya sembil berdoa. Beliau
bersabda ”(Gerakan jari telunjuk) lebih ditakuti
setan daripada pukulan besi.” (HR Ahmad dan
Bukhari).
Sebagian sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam telah mengambil suatu perbuatan atau
meniru perbuatan sahabat yang lain yaitu
menggerakkan telunjuknya sambil berdoa. Beliau
Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan ini
dalam dua tasyahhudnya (tasyahhud awal dan
akhir).
Dalam hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dan
Nasa’i disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam pernah melihat seorang sahabat
berdoa sambil mengacungkan dua jarinya. Lalu
Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda
sambil mengacungkan telunjuknya kepada orang
itu ”Satu saja! Satu saja!.”
Continue reading →
Monday 18 November 2013

Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al Qur'an

0 komentar
Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al-Qur’an?
Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama.
1. Basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an
kecuali ayat ke-30 pada surah An-Naml.
Ini pendapat Al-Imam Malik dan sekelompok
ulama Hanafiyah. Juga dinukilkan oleh
sebagian pengikut Al-Imam Ahmad dalam
sebuah riwayat dari beliau bahwa ini mazhab
beliau.
2. Basmalah adalah ayat dari setiap surah
atau sebagian surah.
Ini mazhab Al-Imam Syafi’i dan yang
mengikuti beliau. Akan tetapi, dalam sebuah
penukilan dari beliau disebutkan bahwa
basmalah bukan ayat di permulaan setiap
surah kecuali Al-Fatihah, sedangkan surah
lain hanyalah dibuka dengan basmalah untuk
tabarruk (mencari berkah).
3. Basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an,
namun dia bukan termasuk bagian surah,
tetapi ayat yang berdiri sendiri dan dibaca di
awal setiap surah Al-Qur’an kecuali surah
At-Taubah, sebagaimana Nabi n
membacanya ketika diturunkan kepada beliau
surah Al-Kautsar seperti yang diriwayatkan
Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya.
Ini merupakan pendapat Al-Imam Abdullah
ibnul Mubarak, Al-Imam Ahmad, dan Abu
Bakr ar-Razi—beliau menyebutkan bahwa
inilah yang diinginkan oleh mazhab Abu
Hanifah—. Ini pula pendapat para muhaqqiq
(peneliti) dalam masalah ini.
Kami lebih condong kepada pendapat yang
terakhir ini.
Apakah Basmalah Itu Ayat Pertama Al-
Fatihah?
Ada dua pendapat ulama tentang hal ini.
1. Basmalah bagian dari surah Al-Fatihah,
namun bukan bagian surah yang lain,
sehingga wajib membacanya ketika membaca
Al-Fatihah.
2. Tidak dibedakan antara Al-Fatihah dan
surah yang lainnya dalam Al-Qur’an,
sehingga membaca basmalah di awal Al-
Fatihah sama dengan membaca basmalah di
awal surah lainnya (karena basmalah adalah
ayat yang berdiri sendiri). Pendapat ini
bersesuaian dengan hadits yang sahih, dan
inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut
penulis.
Bacaan Basmalah dalam Shalat
Ada tiga pendapat ulama tentang hal ini.
1. Wajib seperti wajibnya membaca Al-
Fatihah.
Ini merupakan pendapat Al-Imam Syafi’i,
sebuah riwayat dari Al-Imam Ahmad dan
sekelompok ahlul hadits. Pendapat ini
dibangun berdasar anggapan bahwa
basmalah itu bagian dari Al-Fatihah.
2. Makruh (dibenci) baik secara sirr
maupun jahr.
Pendapat ini masyhur dari mazhab Al-Imam
Malik.
3. Boleh, bahkan mustahabbah (disenangi).
Ini pendapat yang masyhur dari Al-Imam
Ahmad, Abu Hanifah, dan kebanyakan ulama
ahlul hadits. Ini pula pendapat yang kami
pilih.
Pendapat ini juga dipegangi oleh orang yang
berpendapat boleh membacanya ataupun
tidak karena berkeyakinan bahwa kedua hal
tersebut adalah qira’ah/bacaan Al-Qur’an
yang diperkenankan.
Apakah Basmalah Dibaca Jahr atau Sirr?
Dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat.
1. Disunnahkan membacanya secara jahr.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan
ulama lain.
2. Disunnahkan membacanya secara sirr.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama ahlul
hadits dan ahli ra’yu, serta pendapat
mayoritas fuqaha di dunia.
3. Seseorang bisa memilih, secara jahr atau
sirr.
Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Imam
Ishaq bin Rahawaih. Ini juga pendapat Al-
Imam Ibnu Hazm dan lainnya. (Majmu’
Fatawa, 22/435—437)
Bacaan Basmalah
Rasulullah n mengucapkan:
tanpa mengeraskan suara, sebagaimana
dipahami dari hadits Anas bin Malik z yang
memiliki banyak jalan dengan lafadz yang
berbeda-beda, dan semua menunjukkan
bahwa Nabi n tidak mengeraskan suara
ketika mengucapkan basmalah. Salah satu
jalannya adalah dari Syu’bah, dari Qatadah,
dari Anas z, ia berkata:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ n ﻭَﺃَﺑَﺎ ﺑَﻜْﺮٍ ﻭَﻋُﻤَﺮَ c ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻔْﺘَﺘِﺤُﻮﻥَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ
ﺑِـ } ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ }
“Sesungguhnya Nabi n, Abu Bakr dan Umar c,
membuka (bacaan dengan suara keras)
dalam shalat mereka dengan ‘Alhamdulillahi
Rabbil ‘alamin.” (HR. Al-Bukhari no. 743 dan
Muslim no. 888)
Al-Imam Ash-Shan’ani t menyatakan, hadits
di atas menunjukkan bahwa Nabi n, Abu Bakr
dan Umar c tidak memperdengarkan kepada
makmum (orang yang shalat di belakang
mereka) ucapan basmalah dengan suara
keras saat membaca Al-Fatihah (dalam
shalat jahriyah). Mereka membacanya
dengan sirr/perlahan. (Subulus Salam 2/191)
Adapun ucapan Anas, “Mereka membuka
(bacaan dengan suara keras) dalam shalat
mereka dengan Alhamdulillah…” tidak mesti
dipahami bahwa mereka tidak membaca
basmalah secara sirr. (Fathul Bari, 2/294)
Al-Imam Asy-Syafi’i t mengatakan, “Makna
hadits ini adalah Nabi n, Abu Bakr, Umar, dan
Utsman g, mengawali bacaan Al-Qur’an
dalam shalat dengan (membaca) Fatihatul
Kitab sebelum membaca surah lainnya.
Bukan maknanya mereka tidak mengucapkan
Bismillahir rahmanir rahim.” (Sunan At-
Tirmidzi, 1/156)
Ulama berselisih pandang dalam masalah
men-jahr-kan (mengucapkan dengan keras)
ucapan basmalah ataukah tidak dalam shalat
jahriyah. Sebetulnya, semua ini beredar dan
bermula dari perselisihan apakah basmalah
termasuk ayat dalam surah Al-Fatihah atau
bukan. Juga, apakah basmalah adalah ayat
yang berdiri sendiri pada setiap permulaan
surah dalam Al-Qur’an selain surah Al-
Bara’ah (At-Taubah), ataukah bukan ayat
sama sekali kecuali dalam ayat 30 surah An-
Naml? Insya Allah pembaca bisa melihat
keterangannya pada artikel: Apakah
Basmalah Termasuk Ayat dari Surah Al-
Fatihah?
Kami (penulis) dalam hal ini berpegang
dengan pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa basmalah dibaca dengan
sirr. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata, “Yang
diamalkan oleh mayoritas ulama dari
kalangan sahabat Nabi n—di antara mereka
Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya g—
dan ulama setelah mereka dari kalangan
tabi’in, serta pendapat yang dipegang Sufyan
ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq,
bahwasanya ucapan basmalah tidak
dijahrkan. Mereka mengatakan, orang yang
shalat mengucapkannya dengan perlahan,
cukup didengarnya sendiri.” (Sunan At-
Tirmidzi, 1/155)
Guru besar kami, Asy-Syaikh Al-Muhaddits
Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i t, dalam kitab
beliau, Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish
Shahihain (2/97), menyatakan bahwa riwayat
hadits-hadits yang menyebutkan basmalah
dibaca secara sirr itu lebih shahih/kuat
daripada riwayat yang menyebutkan bacaan
basmalah secara jahr.
Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i t dan pengikut
mazhabnya, juga—sebelum mereka—beberapa
sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair g, serta
kalangan tabi’in, berpendapat bahwa bacaan
basmalah dijahrkan. (Sunan At-Tirmidzi,
1/155)
Kelemahan hadits2 menjahrkan bacaan
basmalah
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata,
“Ulama yang mendalam pengetahuannya
terhadap hadits telah bersepakat, tidak ada
satu pun hadits (sahih, pen.) yang tegas
menyebutkan pembacaan basmalah secara
jahr. Demikian pula, tidak diketahui ada salah
satu kitab sunan yang masyhur—seperti
Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan
An-Nasa’i—yang membawakan periwayatan
basmalah secara jahr. Periwayatan yang
menyebutkan secara jahr hanya didapatkan
dalam hadits-hadits maudhu’ah (palsu) yang
diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dan Al-
Mawardi—dalam Tafsir—dan yang serupa
dengan beliau berdua, atau disebutkan di
beberapa kitab fuqaha yang tidak
membedakan antara riwayat yang palsu dan
yang tidak.
Ketika Al-Imam Ad-Daraquthni t datang ke
Mesir, beliau pernah diminta mengumpulkan
hadits-hadits yang menyebutkan pembacaan
basmalah secara jahr. Beliau pun
melakukannya. Ketika beliau ditanya, adakah
yang sahih dari hadits-hadits tersebut?
Beliau menyatakan, “Adapun dari Nabi n,
tidak didapatkan, sedangkan atsar dari
sahabat Nabi n ada yang sahih dan ada pula
yang dhaif (lemah).” (Majmu’ Fatawa,
22/416,417)
Beliau juga berkata, “Sebenarnya, banyak
beredar kedustaan dalam hadits-hadits yang
menyebutkan pembacaan basmalah secara
jahr karena orang-orang Syi’ah berpendapat
bacaan basmalah dijahrkan, padahal mereka
dikenal oleh kaum muslimin sebagai
kelompok yang paling pendusta di antara
kelompok-kelompok sempalan dalam Islam.
Mereka memalsukan hadits-hadits dan
membuat rancu agama mereka dengan
hadits-hadits tersebut.
Oleh karena itu, didapatkan ucapan imam
Ahlus Sunnah dari penduduk Kufah, seperti
Sufyan ats-Tsauri t, yang menyatakan bahwa
termasuk sunnah adalah mengusap kedua
khuf dan meninggalkan membaca basmalah
secara jahr. Sebagian mereka juga
menyebutkan bahwa Abu Bakr dan Umar c
lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama
dan lebih mulia daripada para sahabat yang
lainnya, dan ucapan-ucapan yang
semisalnya, karena hal-hal tersebut—yaitu
tidak mau mengusap khuf , membaca
basmalah secara jahr, menganggap ada yang
lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama,
dan lebih mulia daripada Abu Bakr dan Umar
—merupakan syiar Rafidhah. Ada pula
seorang imam mazhab Syafi’i, Abu Ali ibnu
Abi Hurairah t, yang meninggalkan jahr ketika
membaca basmalah. Ketika ditanya
sebabnya, beliau t berkata, “Karena membaca
basmalah secara jahr telah menjadi syiar
orang-orang yang menyelisihi
agama.” (Majmu’ Fatawa, 22/424)
Hadits yang menyebutkan secara tegas
bahwa basmalah diucapkan dengan jahr
diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dalam
Musnad-nya (hadits no. 145), Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (1/233), dan Al-Baihaqi
dalam Sunan-nya (2/47), dari jalan Abdullah
bin Utsman bin Khutsaim, dari Abu Bakr bin
Hafsh bin Umar, dari Anas bin Malik z,
bahwasanya Mu’awiyah z pernah mengimami
shalat di Madinah dan menjahrkan bacaan
Al-Qur’an, membaca basmalah sebelum
membaca Al-Fatihah, dan tidak membaca
basmalah sebelum surah yang dibaca setelah
Al-Fatihah sampai selesai bacaan tersebut.
Beliau z tidak bertakbir ketika turun sujud
hingga selesai shalat. Setelah mengucapkan
salam dari shalatnya, para sahabat Muhajirin
yang mendengar hal tersebut menyerunya
dari setiap tempat, “Wahai Mu’awiyah,
apakah engkau mencuri shalat, ataukah
engkau lupa?” Setelah peristiwa itu, bila
shalat mengimami manusia, Mu’awiyah z
membaca basmalah sebelum surah yang
dibaca setelah Ummul Qur’an (Al-Fatihah)
dan bertakbir ketika turun sujud.
Hadits yang lain diriwayatkan dari Abdullah
bin Utsman bin Khutsaim, dari Ismail bin
Ubaid bin Rifa’ah, dari bapaknya,
bahwasanya Mu’awiyah z pernah mengimami
penduduk Madinah tanpa membaca
basmalah dan tanpa bertakbir ketika
melakukan gerakan turun dan naik dalam
shalat. Beliau ditegur oleh para sahabat
Muhajirin dan Anshar, kemudian
disebutkanlah hadits yang semakna dengan
hadits di atas. (Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i
no. 146)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan,
hadits ini dhaif ditinjau dari beberapa sisi.
1. Riwayat yang sahih dan masyhur
menyebutkan secara jelas penyelisihan dari
Anas z terhadap riwayat di atas.
2. Poros sanad dalam kedua hadits tadi dari
Abdullah bin Utsman bin Khutsaim. Ia
dilemahkan sekelompok ahlul hadits. Mereka
memandang hadits ini mudhtharib/goncang
periwayatannya, baik secara sanad maupun
matan. Ini menjelaskan bahwa hadits
tersebut ghairu mahfuzh (mungkar).
3. Pada sanadnya tidak ada kesinambungan
mendengarnya seorang perawi dari perawi
yang lain. Bahkan, dalam sanad itu ada
kelemahan dan kegoncangan yang
dikhawatirkan menyebabkan
inqitha’ (terputusnya sanad), juga jeleknya
hafalan perawinya.
4. Anas z tinggal di Bashrah, sedangkan
ketika Mu’awiyah z di Madinah, tidak ada
seorang ulama ahli sejarah pun yang
menyebutkan Anas bersamanya. Bahkan,
secara zahir Anas tidak bersama Mu’awiyah.
5. Kalaupun benar terjadi di Madinah dan
perawinya adalah Anas z, tentu murid-murid
beliau yang terkenal menemani beliau—
demikian juga penduduk Madinah—akan
meriwayatkan hadits tersebut dari beliau.
Akan tetapi, tidak didapatkan salah seorang
dari mereka yang meriwayatkan dari Anas,
bahkan yang dinukil dari mereka justru
sebaliknya.
6. Bila benar Mu’awiyah membaca basmalah
dengan jahr, ini menyelisihi kebiasaan beliau
yang dikenal oleh penduduk Syam yang
menemani beliau, sementara tidak ada
seorang pun dari mereka yang menukilkan
bahwa Mu’awiyah membaca basmalah
dengan jahr. Bahkan, seluruh penduduk
Syam, baik pemimpin maupun ulamanya,
berpendapat tidak menjahrkan bacaan
basmalah. Dalam hal ini Al-Imam Al-Auza’i
sendiri—yang dikenal sebagai imam negeri
Syam—bermazhab seperti mazhab Al-Imam
Malik, yaitu tidak membaca basmalah sama
sekali, baik sirr ataupun jahr.
Dengan demikian, orang yang berilmu (para
muhaddits) yang melihat beberapa sisi ini
akan memastikan bahwa hadits ini batil,
tidak ada hakikatnya, atau telah diubah dari
yang sebenarnya.
Adapun yang membawakan hadits ini, telah
sampai kepadanya (hadits tersebut) dari
jalan yang tidak sahih, sehingga menimbulkan
cacat berupa terputusnya sanad.
Kalaupun hadits ini selamat, dia tetap syadz
(ganjil), karena menyelisihi periwayatan
perawi yang banyak dan lebih kokoh
(hafalannya) yang meriwayatkan dari Anas z
bahkan menyelisihi periwayatan penduduk
Madinah serta Syam. (Majmu’ Fatawa,
22/431—433)
Bolehnya menjahrkan bacaan basmalah
dalam keadaan tertentu karena maslahat
 Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin
Baz t berkata, “Riwayat yang menyebutkan
basmalah dibaca dengan jahr dibawa kepada
(pemahaman) bahwa Nabi n pernah
menjahrkan basmalah untuk mengajari orang
yang shalat di belakang beliau (para
makmum) apabila beliau membacanya
(dalam shalat sebelum membaca
Alhamdulillah…). Dengan pemahaman seperti
ini, terkumpullah hadits-hadits yang ada.
Terdapat hadits-hadits shahih yang
memperkuat apa yang ditunjukkan oleh
hadits Anas z yaitu disyariatkannya
membaca basmalah secara sirr.” (Ta’liq
terhadap Fathul Bari, 2/296)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata,
“Terkadang disyariatkan membaca basmalah
dengan jahr karena sebuah maslahat yang
besar, seperti pengajaran imam terhadap
makmum, atau menjahrkannya dengan ringan
untuk melunakkan hati dan mempersatukan
kalimat kaum muslimin yang dikhawatirkan
mereka akan lari kalau diamalkan sesuatu
yang lebih afdhal. Hal ini sebagaimana Nabi
n mengurungkan keinginan untuk
membangun kembali Baitullah sesuai dengan
fondasi Ibrahim q karena kaum Quraisy di
Makkah pada waktu itu baru saja
meninggalkan masa jahiliah dan masuk
Islam. Beliau n mengkhawatirkan mereka dan
melihat maslahat yang lebih besar berkenaan
dengan persatuan dan keutuhan hati-hati
kaum muslimin. Beliau n pun lebih memilih
hal tersebut daripada membangun Baitullah di
atas fondasi Ibrahim q.
Pernah pula Ibnu Mas’ud z shalat dengan
sempurna empat rakaat di belakang Khalifah
Utsman bin Affan z dalam keadaan mereka
sedang safar. Orang-orang pun mengingkari
Ibnu Mas’ud yang mengikuti perbuatan
Utsman z, karena seharusnya dia shalat dua
rakaat dengan mengqashar. Akan tetapi,
beliau n menjawab dan menyatakan,
“Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu, para imam, seperti Al-Imam
Ahmad dan lainnya, membolehkan berpindah
dari yang afdhal kepada yang tidak afdhal,
seperti menjahrkan basmalah dalam suatu
keadaan, menyambung shalat witir, atau yang
lainnya, untuk menjaga persatuan kaum
mukminin, mengajari mereka As-Sunnah, dan
yang semisalnya.” (Majmu’ Fatawa, 22/437—
438)
Diposkan 19th November 2012 oleh sufyan
ats-tsauriuntuk melihat vidio dakwah salaf disini
Continue reading →

Laporan Donasi Suriah

0 komentar
Laporan Donasi
Suriah Muharram
1435 dan
Keutamaan Syam –
Suriah, dst ( Ustadz
Abu Sa ’ ad
Muhammad Nur
Huda, M. A . dan dr
Muhammad
Ariffudin , SpOT )
Posted by Radio Rodja on Nov 16,
2013 in Ustadz Abu Sa ' ad Muhammad
Nur Huda | 0 comments
Laporan donasi Suriah * oleh : Ustadz
Abu Sa ’ ad Muhammad Nur Huda ,
M. A. dan dr Muhammad Ariffudin ,
SpOT**
Alhamdulillah, tim relawan
kemanusiaan Suriah dari Radio Rodja
dan RodjaTV telah kembali ke
Indonesia dengan selamat . Dan
rekaman laporan donasi Suriah ini
adalah yang live pada Sabtu , 12
Muharram 1435 / 16 November 2013 ,
pukul 10 :00- 11: 00 WIB di Radio Rodja
dan RodjaTV. Terdapat dua
narasumber selama pemaparan
laporan donasi Suriah pada Muharram
1435 ini , yaitu Ustadz Abu Sa ’ad dan
dr . M. Ariffudin , SpOT, yang
melaporkan kegiatan sosial dan medis
selama kurang lebih 1 ( satu ) bulan di
Suriah, mulai dari keberangkatan pada
6 Oktober 2013 hingga kembali ke
Indonesia pada 5 November 2013 .
Ringkasan Pemaparan
Laporan Donasi Suriah
Dalam laporan ini dipaparkan bantuan
kemanusiaan Suriah sekaligus kisah
mengharukan selama 1 ( satu ) bulan di
Suriah. Di akhir acara , Ustadz Abu
Sa ’ ad menjelaskan tentang dalil -dalil
keutamaan bumi Syam ( di mana
Suriah termasuk di dalamnya ) . Dan
akhir perjumpaan dalam siaran
tersebut, kami umumkan kembali
untuk penerimaan donasi Suriah
melalui Sunduq Peduli Suriah – Radio
Rodja dan RodjaTV .
Langsung simak dan download saja
ya , rekaman laporan donasi Suriah .
Berikutnya insyaAllah akan kami
segera hadirkan laporan data dari
kegiatan bantuan kemanusiaan untuk
Suriah ini .
Silakan bagi Anda yang ingin
berpartisipasi kembali pada program
Sunduq Peduli Suriah . Sekaligus kami
memohon doa kepada para pendengar
dan pemirsa Rodja agar dapat
mendoakan seluruh relawan, donatur ,
tim terkait , dan Muslimin Indonesia ,
Suriah, serta Muslimin di manapun
berada agar senantiasa Allah Ta ’ ala
melimpahkan rahmatNya, Aamiin .
Sunduq Peduli Suriah :
Partisipasi Donasi Suriah
terus Dibuka
Silakan sampaikan partisipasi donasi
Anda untuk Suriah ( dan Syam secara
umum) , dengan menyalurkannya
melalui transfer bank maupun
langsung ke Studio Rodja.
Rekening Resmi Radio Rodja
untuk Peduli Kemanusiaan
Suriah
Bank Syariah Mandiri
Nomor rekening: 756 1616 005
Atas nama : Yayasan Cahaya Sunnah
Cabang: Cibubur , Jakarta
SMS Konfirmasi setelah Transfer
Donasi :
PEDULI SURIAH( spasi ) Nama lengkap
( spasi ) Alamat( spasi ) Jumlah transfer
( spasi ) tanggal transfer
Kirim ke : 081 989 6543
Alamat Studio Radio Rodja,
Cileungsi, Bogor
Silakan bagi Anda yang ingin
menyalurkan bantuan kemanusiaan
Suriah dengan uang tunai , dst secara
langsung ke Studio Rodja:
Studio Radio Rodja dan RodjaTV
Jl. Pahlawan ( belakang Polsek
Cileungsi)
Kp . Tengah RT 03 / RW03
Kecamatan Cileungsi
Bogor – 16820
Atau kunjungi halaman ini untuk
melihat alamat Studio Rodja beserta
petanya .
Continue reading →

Hukum Memakai Cadar Dalam Shalat Menurut Ulama Salaf

0 komentar
Hukum Memakai Cadar Dalam Shalat
oleh: Muhammad Faris syaiful haq
Pengantar
Seorang wanita Muslimah, terlepas pendapat fikih
manapun yang dipilih terkait hukum bercadar
ketika keluar rumah, kadang-kadang mengalami
masalah ketika harus memutuskan apakah
bercadar ataukah tidak saat shalat. Umumnya
masalah tersebut terjadi ketika dia malakukan
shalat di tempat umum yang bisa dilihat lelaki
asing sementara dia berpendapat menutup wajah
adalah wajib. Bisa juga masalah itu muncul meski
di dalam rumah ketika dia menutup wajah untuk
alasan-alasan non aurot. Bagaimanakah
penjelasan hukum Syara terkait hal ini? Tulisan
ini berusaha membahasnya.
Pembahasan
Talattsum/ ﺍﻟﺘَّﻠَﺜُّﻢُ (memakai cadar ) dalam shalat,
yang mencakup aktivitas Tanaqqub/ ﺍﻟﺘَّﻨَﻘُّﺐُ
(menutupi wajah sekaligus mata) dan atau
Tabarqu’/ ﺍﻟﺘَّﺒَﺮْﻗُﻊُ (menutupi wajah saja tanpa
mata) dilarang syariat dan hukumnya makruh
tetapi tidak membatalkan shalat. Larangan ini
berlaku bukan hanya bagi wanita tetapi juga bagi
lelaki.
Dalil yang menunjukkan larangan memakai cadar
saat shalat adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu
Majah;
ﺳﻨﻦ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ )/3 230 (
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ
ﻧَﻬَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥْ ﻳُﻐَﻄِّﻲَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ
ﻓَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang
menutup mulutnya ketika shalat. (H.R.Ibnu
Majah) “
Dalam hadis di atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam melarang seseorang menutup mulutnya
pada saat shalat (dengan kain atau yang
semakna dengannya). Mamakai cadar secara
otomatis akan menutup mulut. Oleh karena itu,
larangan menutup mulut saat shalat mencakup
larangan bercadar saat shalat, karena memakai
cadar pasti menutup mulut.
Lagipula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
memerintahkan agar sujud dengan tujuh anggota
badan yaitu dahi (termasuk hidung), kedua
telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung kaki
tanpa penghalang. Bukhari meriwayatkan;
ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ) /3 298 (
ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃُﻣِﺮْﺕُ ﺃَﻥْ ﺃَﺳْﺠُﺪَ ﻋَﻠَﻰ
ﺳَﺒْﻌَﺔِ ﺃَﻋْﻈُﻢٍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺠَﺒْﻬَﺔِ ﻭَﺃَﺷَﺎﺭَ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﻔِﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﺪَﻳْﻦِ
ﻭَﺍﻟﺮُّﻛْﺒَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﺃَﻃْﺮَﺍﻑِ ﺍﻟْﻘَﺪَﻣَﻴْﻦِ ﻭَﻟَﺎ ﻧَﻜْﻔِﺖَ ﺍﻟﺜِّﻴَﺎﺏَ ﻭَﺍﻟﺸَّﻌَﺮَ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku
diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan
tujuh tulang (anggota sujud); kening -beliau
lantas memberi isyarat dengan tangannya
menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua
lutut dan ujung jari dari kedua kaki dan tidak
boleh menahan rambut atau pakaian (sehingga
menghalangi anggota sujud).”H.R.Bukhari)
Memakai cadar akan menghalangi pelaksanaan
perintah sujud dengan menempelkan dahi dan
hidung pada tempat sujud. Hal ini bermakna tidak
melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tentang tatacara sujud.
Khabbab bin Al-Aratt mengisahkan bahwa beliau
dan sejumlah shahabat mengeluhkan panasnya
tempat sujud saat shalat dhuhur yang mengenai
dahi dan telapak tangan mereka. Namun
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
menerima keluhan mereka sehingga mereka tetap
bersujud di atas dahi dan telapak tangan dalam
keadaaan polos tanpa penutup kain. Hal ini
menunjukkan, dahi dan telapak tangan tidak boleh
ditutupi kain yang menempel pada badan saat
shalat. Imam Muslim meriwayatkan;
ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ )/3 311 (
ﻋَﻦْ ﺧَﺒَّﺎﺏٍ ﻗَﺎﻝَ
ﺷَﻜَﻮْﻧَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻓِﻲ
ﺍﻟﺮَّﻣْﻀَﺎﺀِ ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﺸْﻜِﻨَﺎ
Dari Khabbab dia berkata; “Kami berkeluh kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perihal
shalat diatas kerikil yang sangat panas, namun
beliau tidak menggubris keluh kesah
kami.”(H.R.Muslim)
Menurut ibnu Abdil Barr, kewajiban membuka
wajah tanpa cadar bagi wanita saat shalat sudah
menjadi Ijma (konsensus).
ﻛﺸﺎﻑ ﺍﻟﻘﻨﺎﻉ ﻋﻦ ﻣﺘﻦ ﺍﻹﻗﻨﺎﻉ )/2 256 (
ﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﺒَﺮِّ : ﺃَﺟْﻤَﻌُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﺃَﻥْ
ﺗَﻜْﺸِﻒَ ﻭَﺟْﻬَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَﺍﻟْﺈِﺣْﺮَﺍﻡِ
“Ibnu Abdil Barr berkata; Mereka telah bersepakat
bahwa wanita wajib membuka wajahnya pada
saat Shalat dan Ihram” (Kassyafu Al-Qina’ ‘An
Matni Al-Iqna’, vol.2 hlm 256)
Larangan memakai cadar bagi wanita bukan
hanya pada saat shalat, tetapi juga pada saat
mengerjakan haji. Bukhari meriwayatkan;
ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ) /6 374 (
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ
ﻗَﺎﻡَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎﺫَﺍ ﺗَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﺃَﻥْ ﻧَﻠْﺒَﺲَ ﻣِﻦْ
ﺍﻟﺜِّﻴَﺎﺏِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺣْﺮَﺍﻡِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﺎ
ﺗَﻠْﺒَﺴُﻮﺍ ﺍﻟْﻘَﻤِﻴﺺَ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟﺴَّﺮَﺍﻭِﻳﻠَﺎﺕِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻌَﻤَﺎﺋِﻢَ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﺒَﺮَﺍﻧِﺲَ
ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻟَﻴْﺴَﺖْ ﻟَﻪُ ﻧَﻌْﻠَﺎﻥِ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺒَﺲْ ﺍﻟْﺨُﻔَّﻴْﻦِ
ﻭَﻟْﻴَﻘْﻄَﻊْ ﺃَﺳْﻔَﻞَ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻠْﺒَﺴُﻮﺍ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣَﺴَّﻪُ ﺯَﻋْﻔَﺮَﺍﻥٌ
ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻮَﺭْﺱُ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨْﺘَﻘِﺐْ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺍﻟْﻤُﺤْﺮِﻣَﺔُ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻠْﺒَﺲْ ﺍﻟْﻘُﻔَّﺎﺯَﻳْﻦِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu
berkata: Seorang laki-laki datang lalu berkata:
“Wahai Rasulullah, pakaian apa yang baginda
perintahkan untuk kami ketika ihram?. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Janganlah kalian mengenakan baju, celana,
sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala)
kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal,
hendaklah dia mengenakan sapatu tapi
dipotongnya hingga berada di bawah mata kaki
dan jangan pula kalian memakai pakaian yang
diberi minyak wangi atau wewangian dari daun
tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak
boleh memakai cadar (penutup wajah) dan
sarung tangan“(H.R.Bukhari)
Larangan memakai cadar difahami makruh, bukan
haram yang membatalkan shalat karena untuk
menyimpulkan sebuah larangan dalam shalat
bermakna haram yang membatalkan shalat, harus
bisa dibuktikan berdasarkan Nash bahwa
larangan tersebut membuat shalat dianggap tidak
ada atau ada perintah lugas untuk mengulangi
shalat.
Para ulama yang mengambil pendapat bahwa
wanita wajib memakai cadar, maka ketentuan
memakai cadar dalam shalat ini diperinci. Jika
shalatnya ditempat tertutup tanpa ada lelaki
asing, maka hukum memakai cadar tetap makruh,
sementara jika ditempat umum yang dilihat lelaki
asing maka memakai cadar menjadi mubah
karena dianggap pelaksanaan kewajiban
menggugurkan hal yang makruh. Wallahua’lam .
Continue reading →