Wednesday 20 November 2013

Lindungi Diri Dengan Jilbab Syar'i

0 komentar
Lindungi Diri Dengan
Jilbab Syar‘i
Islam mewajibkan seorang wanita
untuk dijaga dan dipelihara dengan
sesuatu yang tidak sama dengan
kaum laki-laki. Wanita dikhususkan
dengan perintah untuk berhijab
(menutup diri dari laki-laki yang bukan
mahram). Baik dengan mengenakan
jilbab, maupun dengan betah tinggal
di rumah dan tidak keluar rumah
kecuali jika ada keperluan, berbeda
dengan batasan hijab yang diwajibkan
bagi laki-laki.
Allah ta‘ala telah menciptakan wanita
tidak sama dengan laki-laki. Baik
dalam postur tubuh, susunan
anggota badan, maupun kondisi
kejiwaannya. Dengan hikmah Allah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal, kedua jenis ini telah
memunculkan perbedaan dalam
sebagian hukum-hukum syar‘i, tugas,
serta kewajiban yang sesuai dengan
penciptaan dan kodrat masing-
masing sehingga terwujudlah
kemaslahatan hamba, kemakmuran
alam, dan keteraturan hidup.
Wanita telah digariskan menjadi
lentera rumah tangga sekaligus
pendidik generasi mendatang. Oleh
karena itu, ia harus menjaga
kesuciannya, memiliki rasa malu yang
tinggi, mulia, dan bertaqwa. Telah
dimaklumi bahwa seorang wanita
yang berhijab sesuai dengan apa yang
dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya,
maka tidak akan diganggu orang yang
dalam hatinya terdapat keinginan
untuk berbuat tidak senonoh, serta
akan terhindar dari mata-mata
khianat.
Pengertian Jilbab
Ada beberapa pendapat di kalangan
ulama tentang definisi jilbab. Ibnu
Rajab mengatakan jilbab itu mala-ah
(kain yang menutupi seluruh tubuh
dari kepala sampai kaki yang dipakai
melapisi baju bagian dalamnya,
seperti jas hujan). Pendapat ini juga
dipilih oleh al-Baghawi dalam
tafsirnya dan al-Albani. Ada juga yang
berpendapat jilbab itu sama dengan
khimar alias kerudung sebagaimana
disebutkan oleh an-Nawawi, Ibnu
Hajar, dll. As-Sindi mengatakan,
“Jilbab adalah kain yang digunakan
oleh seorang perempuan untuk
menutupi kepala, dada, dan
punggung ketika keluar rumah.”
Syarat Jilbab
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albani, seorang tokoh besar modern
dalam bidang hadits, telah melakukan
penelitian terhadap ayat-ayat al-
Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta
atsar-atsar para ulama terdahulu
mengenai masalah yang penting ini.
Beliau mengatakan bahwa seorang
wanita hanya diperbolehkan keluar
dari rumahnya (begitu pun apabila di
dalam rumahnya terdapat laki-laki
yang bukan mahramnya) dengan
mengenakan jilbab, yaitu berbagai
jenis pakaian yang telah memenuhi
syarat-syarat berikut ini:
Syarat pertama: menutupi seluruh
tubuh kecuali bagian yang
dikecualikan
Syarat ini tercantum dalam firman
Allah ta‘ala , surat An-Nuur, ayat 31
ْﻞُﻗَﻭ َﻦْﻀُﻀْﻐَﻳ ِﺕﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻠِﻟ ﻣِﻦْ
ﺃَﺑْﺼَﺎﺭِﻫِﻦَّ َﻦْﻈَﻔْﺤَﻳَﻭ َّﻦُﻬَﺟﻭُﺮُﻓ ﻻَﻭ
ﻳُﺒْﺪِﻳﻦَ َّﻦُﻬَﺘَﻨﻳِﺯ ﺎَﻣ ﻻِﺇ ﺎَﻬْﻨِﻣ َﺮَﻬَﻇ
ﺑِﺨُﻤُﺮِﻫِﻦَّ َﻦْﺑِﺮْﻀَﻴْﻟَﻭ َّﻦِﻬِﺑﻮُﻴُﺟ ﻰَﻠَﻋ
ﻻَﻭ َﻦﻳِﺪْﺒُﻳ َّﻦُﻬَﺘَﻨﻳِﺯ َّﻦِﻬِﺘَﻟﻮُﻌُﺒِﻟ ﻻِﺇ ْﻭَﺃ
ﺃَﻭْ َّﻦِﻬِﺋﺎَﺑﺁ ِﺀﺎَﺑﺁ ْﻭَﺃ َّﻦِﻬِﺘَﻟﻮُﻌُﺑ َّﻦِﻬِﺋﺎَﻨْﺑَﺃ
ﺃَﻭْ ِﺀﺎَﻨْﺑَﺃ ْﻭَﺃ َّﻦِﻬِﺘَﻟﻮُﻌُﺑ َّﻦِﻬِﻧﺍَﻮْﺧِﺇ ْﻭَﺃ
ﻲِﻨَﺑ ْﻭَﺃ َّﻦِﻬِﻧﺍَﻮْﺧِﺇ ﻲِﻨَﺑ َّﻦِﻬِﺗﺍَﻮَﺧَﺃ ْﻭَﺃ
ﻧِﺴَﺎﺋِﻬِﻦَّ ْﻭَﺃ ﺎَﻣ َّﻦُﻬُﻧﺎَﻤْﻳَﺃ ْﺖَﻜَﻠَﻣ ِﻭَﺃ
ﺍﻟﺘَّﺎﺑِﻌِﻴﻦَ ﻲِﻟﻭُﺃ ِﺮْﻴَﻏ َﻦِﻣ ِﺔَﺑْﺭﻹﺍ
ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ِﻞْﻔِّﻄﻟﺍ ِﻭَﺃ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ْﻢَﻟ ﺍﻭُﺮَﻬْﻈَﻳ
ﻰَﻠَﻋ ِﺕﺍَﺭْﻮَﻋ ِﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ ﻻَﻭ َﻦْﺑِﺮْﻀَﻳ
ﺑِﺄَﺭْﺟُﻠِﻬِﻦَّ ﻟِﻴُﻌْﻠَﻢَ ﺎَﻣ ْﻦِﻣ َﻦﻴِﻔْﺨُﻳ
ﺯِﻳﻨَﺘِﻬِﻦَّ ﺍﻮُﺑﻮُﺗَﻭ ﻰَﻟِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﺎًﻌﻴِﻤَﺟ
ﺎَﻬُّﻳَﺃ َﻥﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺍ ْﻢُﻜَّﻠَﻌَﻟ َﻥﻮُﺤِﻠْﻔُﺗ
“ Katakanlah kepada wanita yang
beriman, ‘Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak darinya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung
(khimar) ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka,
atau putra-putra suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara
lelaki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan
kakinyua agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu
beruntung.’” (Qs An Nuur: 31)
Begitu juga surat Al-Ahzaab, ayat 59,
“ Hai Nabi, katakanlah kepada istri-
istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.’ Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Para ulama salaf dari kalangan
sahabat dan tabi‘in memang berselisih
pendapat mengenai tafsir “… dan
janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak darinya …” (Qs An-Nuur: 31).
Ada yang berpendapat bahwa
perhiasan yang boleh nampak adalah
pakaian bagian luar yang dikenakan
wanita karena tidak mungkin
disembunyikan, sebagaimana
perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir dalam
tafsirnya. Sedangkan Ibnu Jarir
rahimahullah lebih memilih wajah
dan kedua telapak tangan sebagai
perhiasan yang boleh ditampakkan,
karena keduanya bukan termasuk
aurat. Al-Albani juga berpendapat
bolehnya seorang wanita
menampakkan wajah dan kedua
telapak tangan, namun beliau
mengingatkan bahwa pendapat
tersebut dibangun dengan syarat
pada bagian wajah dan telapak
tangan tidak terdapat perhiasan.
Apabila terdapat perhiasan pada dua
bagian tubuh tersebut seperti cincin,
make up, dan lain-lain maka
keduanya harus ditutupi, berdasarkan
keumuman firman Allah ta’ala, “…
dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya …” (Qs
An-Nuur: 31).
Syarat kedua: bukan untuk berhias
Tujuan utama perintah memakai
jilbab adalah untuk menutupi
perhiasannya, sebagaimana dalil di
atas. Oleh karena itu, jilbab yang
dikenakan seorang wanita tidak boleh
diperindah dengan perhiasan
sehingga menarik perhatian dan
pandangan kaum laki-laki. Fenomena
memperindah pakaian yang
dikenakan seorang muslimah ketika
keluar rumah banyak terjadi di tengah
masyarakat, contohnya adalah
bordiran warna-warni, payet, pita
sulam emas serta perak yang
menyilaukan mata, dan lain
sebagainya. Adapun warna pakaian
selain putih dan hitam bukanlah
termasuk kategori perhiasan,
berdasarkan riwayat-riwayat yang
menceritakan bahwa istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengenakan jubah berwarna merah.
Syarat ketiga dan keempat: bahannya
tebal, tidak transparan, dan tidak
menampakkan lekuk tubuh
Agar dapat tercapai tujuan
tertutupnya aurat, maka jilbab yang
dikenakan harus tebal dan tidak
transparan yang dapat
memperlihatkan warna kulit dan
rambut. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata, “Khimar adalah sesuatu
yang dapat menyembunyikan kulit
dan rambut .”
Selain tebal, pakaian tersebut juga
tidak menggambarkan lekuk tubuh.
Terkadang ada bahan pakaian yang
tebal namun sangat halus sehingga
melekat pada tubuh, atau bisa jadi
karena ukurannya yang ketat sehingga
nampak lekuk tubuh si pemakai.
Usamah bin Zaid berkata, “ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadaku, ‘Mengapa
engkau tidak mengenakan baju
Qubthiyah yang telah kuberikan?’
‘Aku memberikannya kepada
istriku,’ jawabku . Maka beliau
berpesan, ‘Perintahkanlah istrimu
agar memakai pakaian bagian dalam
sebelum mengenakan baju
Qubthiyah itu. Aku khawatir baju itu
akan menggambarkan lekuk
tubuhnya.’” (HR. Ahmad dan al-
Baihaqi, hasan).
Syarat kelima: tidak ditaburi
wewangian atau parfum
Kaum wanita dilarang menggunakan
wewangian ketika keluar rumah
berdasarkan banyak hadits. Salah
satunya adalah hadist Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu : “ Seorang wanita
melintas di hadapan Abu Hurairah
dan aroma wewangian yang
dikenakan wanita tersebut tercium
olehnya. Abu Hurairah pun
bertanya, ‘Hai hamba wanita milik
Al-Jabbar (Allah ta’ala)! Apakah
kamu hendak ke masjid?’ ‘Benar,’
jawabnya. Abu Hurairah lantas
bertanya lagi, ‘Apakah karena itu
kamu memakai parfum?’ wanita
tersebut menjawab, ‘Benar.’ Maka
Abu Hurairah berkata, ‘Pulang dan
mandilah kamu! Sungguh, aku
pernah mendengar Rasulullah
shallallhu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Allah tidak akan
menerima shalat wanita yang
keluar menuju masjid sementara
bau wangi tercium darinya, hingga
ia kembali ke rumahnya dan
mandi.’” (HR. Al-Baihaqi, shahih)
Hadits ini menunjukkan haramnya
seorang wanita keluar menuju masjid
dengan memakai wewangian. Lalu
bagaimana hukumnya jika wanita
tersebut hendak menuju tempat
perbelanjaan, perkantoran atau
jalanan umum? Tentu tidak diragukan
lagi keharaman dan dosanya lebih
besar walaupun seandainya suaminya
mengizinkan.
Syarat keenam: tidak menyerupai
pakaian laki-laki
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu , ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat pria yang memakai
pakaian wanita, dan wanita yang
memakai pakaian pria .” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, dan
Ahmad, shahih)
Adz-Dzahabi rahimahullah
menggolongkan perbuatan
menyerupai lawan jenis ( tasyabbuh)
termasuk dosa besar, berdasarkan
kandungan hadits-hadits shahih dan
ancaman keras yang disebutkan di
dalamnya. Tasyabbuh yang dilarang
dalam Islam berdasarkan dalil-dalil
meliputi masalah pakaian, sifat-sifat
tertentu, tingkah laku, dan yang
semisalnya, bukan dalam hal perkara-
perkara kebaikan. Alasan
ditimpakannya laknat bagi pelaku
tasyabbuh menurut Syaikh Abu
Muhammad bin Abu Jumrah adalah
karena orang tersebut telah keluar
dari tabi’at asli yang Allah ta’ala
karuniakan bagi dirinya.
Syarat ketujuh: tidak menyerupai
pakaian wanita kafir
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sungguh,
barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum maka ia termasuk golongan
mereka .” (HR. Ahmad, hasan)
Meniru-niru penampilan lahiriah
kaum musyrikin akan menghantarkan
pada kesamaan akhlak dan
perbuatan. Terdapat kaitan erat
antara penampilan luar seseorang
dengan keimanan yang ada dalam
batin, keduanya akan saling
mempengaruhi.
Syarat kedelapan: bukan merupakan
pakaian yang mengundang sensasi di
masyarakat (pakaian syuhrah )
Jilbab yang dipakai wanita muslimah
tidak boleh mengundang sensasi atau
nyeleneh, sehingga menjadi pusat
perhatian orang, baik pakaian tersebut
pakaian yang sangat mewah maupun
murahan. Adapun penampilan yang
sesuai dengan syari‘at namun
berbeda dengan masyarakat pada
umunya maka bukan termasuk dalam
pakaian syuhrah.
“Barangsiapa yang memakai
pakaian syuhrah di dunia, maka
Allah akan memakaikan pakaian
(kehinaan) yang serupa baginya
pada hari kiamat, lalu Allah akan
menyulutkan api pada pakaian
itu.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah, hasan)
Kedelapan syarat di atas harus
terpenuhi seluruhnya untuk mencapai
makna jilbab yang dimaksudkan
dalam Islam. Hendaklah kaum
mukminah bersegera melaksanakan
apa yang Allah ta’ala perintahkan,
salah satunya yaitu untuk
mengenakan jilbab sebagai bentuk
ketaatan kepada Allah ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Cukuplah para shahabiyah di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai teladan bagi kita
dalam melaksanakan perintah Allah
ta’ala , sebagaimana yang dikatakan
oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ,
“ Sungguh wanita-wanita Quraisy
memiliki keutamaan. Namun demi
Allah, aku belum pernah
menjumpai kaum wanita yang lebih
utama, membenarkan kitabullah,
dan lebih kuat keimanannya
terhadap apa yang diturunkan Allah
daripada wanita Anshar. Ketika
Allah menurunkan surat An-Nuur
(ayat 31), ‘Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke
dadanya,’ para laki-laki Anshar
pulang untuk membacakan ayat
tersebut kapada istri, putri,
saudarinya, serta para kerabatnya.
Setelah mendengarnya, mereka
pun langsung bangkit mengambil
kain tirai rumahnya (lebar dan
tebal), lalu menjadikannya
kerudung; sebagai bentuk
pembenaran dan keimanan
terhadap hukum yang Allah ta’ala
turunkan melalui kitab-Nya.”
Ya Allah, tutupilah aurat kami (aib dan
sesuatu yang tidak layak dilihat orang)
dan tentramkanlah kami dari rasa
takut.
Wa shallallaahu ‘ala nabiyyina
Muhammadin walhamdu lillaahi
Rabbil ‘aalamin.