Friday 31 January 2014

KUNCI SURGA MUSLIMAH

0 komentar
KUNCI SURGA MUSLIMAH
  Surga adalah idaman dan harapan setiap orang beriman, ia adalah akhir perjalanan bagi semua orang yang taat dan patuh kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi larangaNya. Untuk menggapai surga, maka pentingnya seseorang untuk mengetahui kunci yang denganya dia dapat membuka pintu surga dan masuk ke dalamnya.
  Dalam hal ini, Rasullulah pernah menyebutkan kunci surga yang khusus disediakan untuk para wanita yang kebanyakan kelak menjadi penghuni neraka sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh beliau juga. Dengan meraih kunci ini, niscaya dia tidak termasuk ke dalam golongan para wanita penghuni neraka.
  Rosulullah telah merangkum kunci surga muslim dalam empat perkara, dari Abdurahman bin Auf berkata, Rosulullah bersabda, "Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, niscaya dia masuk surga dari pintu mana saja yang di inginkan."(HR. Ahmad nomor 1661, hadits hasan lighairihi).
  Satu hal yang terpetik dari sabda Rosulullah di atas adalah bahwa beliau hanya menyebutkan perkara-perkara yang masuk ke dalam jangkauan seorang muslimah, di mana seorang muslimah mampu melaksanakannya tanpa bergantung kepada orang lain atau bergantung kepada suaminya, di sini Rosulullah tidak menyinggung, misalnya, haji, karena pelaksanaan ibadah ini oleh seorang muslimah bergantung kepada suatu perkara yang mungkin tidak dimilikinya, seperti tersedianya bekal haji atau tersedianya mahram, di sini Rosulullah juga tidak menyinggung zakat, karena perkaranya kembali kepada kepemilikan harta dan pada umumnya ia berada di tangan kaum laki-laki.
Kunci pertama, menjaga shalat lima waktu
  Shalat adalah ibadah teragung, hadir setelah ikrar dua kalimat syahadat, satu-satunya ibadah yang tidak menerima alasan "tidak mampu", wajib dikerjakan dalam keadaan apa pun selama hayat masih dikandung badan dan akal masih berkerja dengan baik, pembatas antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan, tidak heran jika suatu ibadah dengan kedudukan seperti ini merupakan salah satu kunci surga.
  Jika menjaga shalat adalah kunci surga, maka sebaliknya menyia-nyiakannya adalah gerbang neraka, ketika para pendosa dicampakkan ke dalam neraka, mereka ditanya, apa yang membuat kalian tersungkur ke dalam neraka? Mereka menyebutkan rentetan dosa-dosa yang diawali dengan meninggalkan shalat. Allah berfirman, artinya, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)?' Mereka menjawab, 'Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat."(QS.al-Muddatstsir:42-43).
  Perkara menyia-nyiakan shalat tidak jarang terjadi pada kaum muslimin secara umum dan kaum muslihat secara khusus, banyak alasan dan hal yang membuat mereka terjerumus ke dalam perbuatan tidak terpuji ini, di antara mereka ada yang menyia-nyiakan shalat karena malas dan meremehkan, di antara mereka ada yang terlalaikan oleh kesibukan hidup, sibuk bekerja,sibuk memasak, sibuk mengurusi rumah tangga, sibuk mengurusi anak-anak dan suami, sibuk dengan kegiatan-kegiatan lainnya sehingga ibadah shalat terbengkalai, padahal ibadah shalat tidak menerima alasan apa pun yang membuatnya tersia-siakan, dan Allah telah memperingatkan kaum muslimin agar tidak terlalaikan oleh dunia dari mengingatNya, termasuk mengingatNya melalui ibadah shalat.
  Firman Allah, artinya, "Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi."(QS.al-Munafiqun:9).
  Menjaga shalat lima waktu mencakup menjaga waktunya dalam arti melaksanakannya tepat waktu, tidak menundanya dan mengulur-ulur waktunya sampai waktunya hampir habis, atau bahkan membiarkannya habis, ini adalah shalat orang-orang yang munafik, dan seorang muslimah tidak patut bermental munafik dalam ibadah shalat.
  Menjaga shalat mencakup menjaga syarat-syarat dan rukun-rukunya dimana shalat tidak sah tanpanya, menjaga wajib-wajib dan sunnah-sunnahnya yang merupakan penyempurna bagi ibadah shalat, semua ini menuntut seorang muslimah untuk belajar dan membekali diri dengan ilmu yang shahih tentang shalat. Tanpa ilmu yang shahih tidak akan terwujud menjaga shalat.
Kunci Kedua, berpuasa di bulannya
  Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu kunci surga, lebih dari itu di surga tersedia sebuah pintu khusus bagi orang-orang yang berpuasa yang dikenal dengan "ar-Rayyana", pintu masuk para shaimin secara khusus, jika mereka telah masuk, maka ia tutup.
  Di samping berpuasa sebagai kunci surga, ia juga merupakan tameng dan pelindung dari neraka, Rosulullah menyatakan, ash-shaumu junnah, puasa adalah tameng atau pelindung, yakni dari api neraka. Karena puasa merupakan salah satu kunci surga sekaligus pelindung dari neraka maka seorang muslimah harus menjaganya, dalam arti melaksanakannya dengan baik, memperhatikan syarat, rukun dan pembatalnya, karena tanpanya dia tidak mungkin berpuasa dengan baik.
  Seorang muslimah juga harus memperhatikan perkara qadha puasa Ramadhan di hari-hari lain jika dia mendapatkan halangan pada bulan Ramadhan sehingga tidak mungkin berpuasa secara penuh, jangan sampai Ramadhan berikut hadir sementara dia belum melunasi hutang puasanya, perkara mengqadha puasa di hari lain ini sering terlupakan atau terabaikan, karena kesibukan hidup, padahal ia adalah hutang yang jika tidak dilaksanakan maka seorang muslimah tidak bisa dikatakan telah berpuasa di bulannya, selanjutnya dia gagal meraih kunci kedua dari kunci-kunci masuk surga, dari sini bersikap hati-hati dengan menyegarkan qadha adalah sikap bijak, karena penundaan terkadang malah merepotkan dan menyulitkan.
Kunci ketiga, Menjaga kehormatan.
  Surga hanya bisa diraih dengan keshalihan, hanya wanita shalihah yang akan masuk surga, shalihnya seorang wanita di buktikan dengan beberapa sifat dan akhlak, salah satunya dan yang terpenting adalah menjaga kehormatan diri. Allah berfirman, artinya,"Wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara (mereka)."(QS.an-Nisa':34).
  Ayat ini menetapkan bahwa memelihara diri merupakan wujud dari ketaatan seorang wanita shalihah kepada Allah kemudian kepada suaminya.
  Rosullah bersabda,"Sebaik-baik wanita adalah wanita yang jika kamu melihat kepadanya, maka kamu berbahagia, jika kamu memerintahkannya maka dia menaatimu, jika kamu bersumpah atasnya maka dia memenuhinya dan jika kamu meninggalkannya, maka dia menjagamu pada diri dan hartamu."(HR.an-Nasa'i)
  Menjaga kehormatan berarti membentengi diri dari perkara-perkara yang mencoreng dan merusak kehormatan, yang menodai dan menggugurkan kemuliaan, dengan tetap bersikap dan bertingkah laku dalam koridor tatanan syariat yang suci lagi luhur.
  Menjaga kehormatan di zaman dimana ajakan dan propaganda kepada kerusakan dan perbuatan keji semakin meningkat dan menguat, seruan dan arus serangan yang ditunjukan kepada wanita-wanita muslimah dengan agenda dan maksud terselubung semakin gencar, menjaga kerusakan membidik wanita muslimah sebagai sasaran, mereka memakai dan menggunakan cara-cara yang melenakan dan menggjurkan dengan nama kemajuan, moderniasi, pemberdayaan, pengentasan, pembebasan dan kedok-kedok palsu lainnya, zhahiruhu fihi ar-Rahmah, wa bathinuhu ya'ti min qibalihi al-adzab, racun di balik kelembutan ular berbisa.
  Dari sini maka seorang wanita muslimah harus jeli dan cermat sehingga dia tidak termakan oleh rayuan gombal para serigala yang berbulu domba, hendaknya seorang muslimah tetap berpegang kepada aturan-aturan dan rambu-rambu islam yang luhur lagi suci karena di sanalah terkandung kebersihan dan kesucian diri, hendaknya seorang muslimah menimbang dan menyeluruh, hal ini agar dia selamat dan tidak terjerumus ke dalam perkara-perkara yang merusak kemuliaan dan kehormatannya.
Kunci keempat, menaati suami
  Menaati suami merupakan lahan dan medan besar dan luas bagi seorang muslimah, ia merupakan ladang ibadah bagi seorang muslimah yang sesungguhnya setelah penghambaannya kepada Rabbnya.
Continue reading →
Thursday 30 January 2014

Hukum Doa dan Dzikir Berjama'ah Setelah Salat Fardhu

0 komentar
Hukum Do’a dan Dzikir
Setelah Shalat Fardlu
dengan Suara Keras
Berjama’ah
Hukum Dzikir Dan Do’a Setelah Shalat
Fardlu dengan Suara keras berjama’ah
Kami uraikan masalah ini dan beberapa
pendapat ulama tentang tidak
disyari’atkannya dzikir jama’i sesudah
shalat fardlu. Padahal asalnya, dzikir
setelah shalat itu dituntunkan oleh
syari’at, dan ini diingkari karena
tatacaranya yang bid’ah. Maka
bagaimana dengan dzikir dan
tatacaranya yang kedua-duanya adalah
bid’ah?
Lajnah Daimah pernah ditanya tentang
hal ini:”Di negeri kami ada dua jama’ah.
Masing-masing mengaku bahwa dialah
yang benar. Selesai shalat, kami lihat
salah satu jama’ah itu mengangkat
tangan dan berdo’a secara berjama’ah
dengan lafaz seperti berikut ini: ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ
ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ﻋﺒﺪﻙ ﻭﺭﺳﻮﻟﻚ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺍﻷﻣﻲ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ
ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﺴﻠﻴﻤﺎ (Ya Allah limpahkan
shalawat dan salam sebanyak-
banyaknya kepada Muhammad, hamba
dan Rasul-Mu, Nabi yang Ummi (tidak
dapat membaca dan menulis). Juga
kepada keluarga dan para sahabatnya. ”
Ada do’a lain yang mereka namakan Al
Fatih. Sementara jama’ah lain, ketika
Imam mengucapkan salam,
mengatakan:”Kami tidak akan
melakukan seperti perbuatan jama’ah
pertama. Dan ketika jama’ah yang
pertama ditanya, mereka katakan bahwa
do’a ini adalah pelengkap atau
penyempurna shalat, dan tidak lain
hanyalah kebaikan.
Adapun jama’ah kedua, mereka
mengatakan bahwa do’a ini adalah
bid’ah yang tidak ada tuntunannya dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam dan mereka berdalil dengan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam:
ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻋﻤﻼ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ .
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu
amalan yang tidak ada perintah dari
kami, maka amalan itu tertolak. ” Ada
beberapa hadits lain yang mereka
jadikan hujjah, dan kami hanyalah
orang-orang yang masih muda belum
tahu mana yang benar. Mohon agar
dijelaskan kepada kami mana yang
benar. ” Jawab:”Do’a jama’i setelah
Imam mengucapkan salam dengan
serempak, tidak ada asalnya yang
menunjukkan bahwa amalan ini
disyari’atkan.
Dewan Riset dan Fatwa memberikan
jawaban sebegai berikut:
“Do’a sesudah shalat fardlu dengan
mengangkat kedua tangan baik oleh
Imam maupun ma`mum, sendirian atau
bersama-sama, bukanlah sunnah.
Amalan ini adalah bid’ah yang tidak ada
keterangannya sedikitpun dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
dan para sahabatnya radliyallahu
‘anhum. Adapun do’a tanpa hal-hal
demikian, boleh dilakukan karena
memang ada keterangannya dalam
beberapa hadits. Wabillahi taufiq.
Semoga shalawat tetap tercurah kepada
Nabi kita Muhammad beserta keluarga
dan oara sahabatnya. (Lajnah Daimah).
Pada bagian lain, Lajnah
menjawab:”Do’a dengan suara keras
setelah shalat lima waktu, ataupun
sunnah rawatib. Atau do’a-do’a
sesudahnya dengan cara berjama’ah dan
terus-menerus dikerjakan merupakan
perbuatan bid’ah yang munkar. Tidak
ada keterangan sedikitpun dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
tentang hal ini, juga para sahabatnya
radliyallahu ‘anhum. Barangsiapa yang
berdo’a setelah selesai shalat fardlu atau
sunnah rawatibnya dengan cara
berjama’ah, maka ini adalah menyelisihi
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan apabila
mereka menganggap orang yang
mengingkari hal ini atau tidak berbuat
sebagaimana yang mereka lakukan
sebagai orang kafir atau bukan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, maka ini adalah
kebodohan dan kesesatan serta
memutarbalikkan kenyataan yang ada.
(Lajnah Daimah, lihat Fatwa Islamiyah
1/318-319).
(Disalin dari “Bid’ah ‘Amaliyah Dzikir
Taubat, Bantahan terhadap ‘Arifin Ilham
Al Banjari”, Penulis: Al Ustadz Abu
Karimah ‘Askari bin Jamal Al Bugisi,
Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i,
Yaman).
Continue reading →
Friday 24 January 2014

Biografi Tokoh Islam

0 komentar
Imam Ahmad Bin
Hambal, Abu Muqbil
bin Muhammad Hasyim
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak
pernah melihat orang yang seperti Imam
Ahmad bin Hambal, saya berteman
dengannya selama lima puluh tahun dan
tidak pernah menjumpai dia
membanggakan sedikitpun kebaikan
yang ada padanya kepada kami”.
Nama dan Nasab :
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya
Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin
Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi.
Ayah beliau seorang komandan pasukan
di Khurasan di bawah kendali Dinasti
Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur
Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah,
dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi
da’i yang kritis. Kelahiran Beliau :
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada
bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah.
Beliau tumbuh besar di bawah asuhan
kasih sayang ibunya, karena bapaknya
meninggal dunia saat beliau masih
berumur belia, tiga tahun. Meski beliau
anak yatim, namun ibunya dengan
sabar dan ulet memperhatian
pendidikannya hingga beliau menjadi
anak yang sangat cinta kepada ilmu dan
ulama karena itulah beliau kerap
menghadiri majlis ilmu di kota
kelahirannya. Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah
Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia
15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis
dengan sempurna hingga dikenal
sebagai orang yang terindah tulisannya.
Lalu beliau mulai konsentrasi belajar
ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu
pula. Keadaan fisik beliau :
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi
bercerita, Saya pernah melihat Imam
Ahmad bin Hambal, ternyata Badan
beliau tidak terlalu tinggi juga tidak
terlalu pendek, wajahnya tampan, di
jenggotnya masih ada yang hitam. Beliau
senang berpakaian tebal, berwarna
putih dan bersorban serta memakai
kain.
Yang lain mengatakan, “Kulitnya
berwarna coklat (sawo matang)”
Keluarga beliau :
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan
mendapatkan keberkahan yang
melimpah. Beliau melahirkan dari istri-
istrinya anak-anak yang shalih, yang
mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan
Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak
meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
Kecerdasan beliau :
Putranya yang bernama Shalih
mengatakan, Ayahku pernah bercerita,
“Husyaim meninggal dunia saat saya
berusia dua puluh tahun, kala itu saya
telah hafal apa yang kudengar darinya”.
Abdullah, putranya yang lain
mengatakan, Ayahku pernah
menyuruhku, “Ambillah kitab
mushannaf Waki’ mana saja yang kamu
kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu
mau tentang matan nanti kuberitahu
sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya
tentang sanadnya nanti kuberitahu
matannya”. Abu Zur’ah pernah ditanya,
“Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih
kuat hafalannya? Anda atau Imam
Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab,
“Ahmad”. Beliau masih ditanya,
“Bagaimana Anda tahu?” beliau
menjawab, “Saya mendapati di bagian
depan kitabnya tidak tercantum nama-
nama perawi, karena beliau hafal nama-
nama perawi tersebut, sedangkan saya
tidak mampu melakukannya”. Abu
Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin
Hambal hafal satu juta hadits”.
Pujian Ulama terhadap beliau :
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin
Hambal manusia yang sangat pemalu,
sangat mulia dan sangat baik
pergaulannya serta adabnya, banyak
berfikir, tidak terdengar darinya kecuali
mudzakarah hadits dan menyebut
orang-orang shalih dengan penuh
hormat dan tenang serta dengan
ungkapan yang indah. Bila berjumpa
dengan manusia, maka ia sangat ceria
dan menghadapkan wajahnya
kepadanya. Beliau sangat rendah hati
terhadap guru-gurunya serta
menghormatinya”.
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin
Hambal imam dalam delapan hal, Imam
dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam
dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an,
Imam dalam kefaqiran, Imam dalam
kezuhudan, Imam dalam wara’ dan
Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya
melihat Abu Abdillah Ahmad bin
Hambal seolah Allah gabungkan
padanya ilmu orang-orang terdahulu
dan orang-orang belakangan dari
berbagai disiplin ilmu”. Kezuhudannya :
Beliau memakai peci yang dijahit
sendiri. Dan kadang beliau keluar ke
tempat kerja membawa kampak untuk
bekerja dengan tangannya. Kadang juga
beliau pergi ke warung membeli seikat
kayu bakar dan barang lainnya lalu
membawa dengan tangannya sendiri. Al
Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu
Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan
kecil”. Tekunnya dalam ibadah
Abdullah bin Ahmad berkata, “Bapakku
mengerjakan shalat dalam sehari-
semalam tiga ratus raka’at, setelah
beliau sakit dan tidak mampu
mengerjakan shalat seperti itu, beliau
mengerjakan shalat seratus lima puluh
raka’at. Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan,
“Datang seorang lelaki membawa uang
sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk
beliau, namun beliau menolaknya”. Ada
juga yang mengatakan, “Ada seseorang
memberikan lima ratus dinar kepada
Imam Ahmad namun beliau tidak mau
menerimanya”. Juga pernah ada yang
memberi tiga ribu dinar, namun beliau
juga tidak mau menerimanya. Tawadhu’
dengan kebaikannya :
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak
pernah melihat orang yang seperti Imam
Ahmad bin Hambal, saya berteman
dengannya selama lima puluh tahun dan
tidak pernah menjumpai dia
membanggakan sedikitpun kebaikan
yang ada padanya kepada kami”. Beliau
(Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin
bersembunyi di lembah Makkah hingga
saya tidak dikenal, saya diuji dengan
popularitas”. Al Marrudzi berkata, “Saya
belum pernah melihat orang fakir di
suatu majlis yang lebih mulia kecuali di
majlis Imam Ahmad, beliau perhatian
terhadap orang fakir dan agak kurang
perhatiannya terhadap ahli dunia (orang
kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-
gesa terhadap orang fakir. Beliau sangat
rendah hati, begitu tinggi
ketenangannya dan sangat memuka
kharismanya”. Beliau pernah bermuka
masam karena ada seseorang yang
memujinya dengan mengatakan,
“Semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan atas jasamu kepada Islam?”
beliau mengatakan, “Jangan begitu
tetapi katakanlah, semoga Allah
membalas kebaikan terhadap Islam atas
jasanya kepadaku, siapa saya dan apa
(jasa) saya?!”
Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau pulang dari tempat
Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada
seseorang yang melihatnya di Makkah
dalam keadaan sangat letih dan capai.
Lalu ia mengajak bicara, maka Imam
Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan
dibandingkan faidah yang saya
dapatkan dari Abdirrazzak”.
Hati-hati dalam berfatwa :
Zakariya bin Yahya pernah bertanya
kepada beliau, “Berapa hadits yang
harus dikuasai oleh seseorang hingga
bisa menjadi mufti? Apakah cukup
seratus ribu hadits? Beliau menjawab,
“Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia
berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu
hadits?” beliau menjawab. “Saya harap
demikian”. Kelurusan aqidahnya sebagai
standar kebenaran
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi
mengatakan, “Siapa saja yang kamu
ketahui mencela Imam Ahmad maka
ragukanlah agamanya”. Sufyan bin
Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami
adalah cobaan, barangsiapa mencela
beliau maka dia adalah orang fasik”.
Masa Fitnah :
Pemahaman Jahmiyyah belum berani
terang-terangan pada masa khilafah Al
Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan
Ar-Rasyid pernah mengancam akan
membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi
yang mengatakan bahwa Al Qur’an
adalah makhluq. Namun dia terus
bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid,
baru setelah beliau wafat, dia
menampakkan kebid’ahannya dan
menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-
orang jahmiyyah berhasil menjadikan
paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi
negara, di antara ajarannya adalah
menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk.
Lalu penguasa pun memaksa seluruh
rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al
Qur’an makhluk, terutama para
ulamanya. Barangsiapa mau menuruti
dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia
selamat dari siksaan dan penderitaan.
Bagi yang menolak dan bersikukuh
dengan mengatakan bahwa Al Qur’an
Kalamullah bukan makhluk maka dia
akan mencicipi cambukan dan pukulan
serta kurungan penjara. Karena
beratnya siksaan dan parahnya
penderitaan banyak ulama yang tidak
kuat menahannya yang akhirnya
mengucapkan apa yang dituntut oleh
penguasa zhalim meski cuma dalam
lisan saja. Banyak yang membisiki Imam
Ahmad bin Hambal untuk
menyembunyikan keyakinannya agar
selamat dari segala siksaan dan
penderitaan, namun beliau menjawab,
“Bagaimana kalian menyikapi hadits
“Sesungguhnya orang-orang sebelum
kalianKhabbab, yaitu sabda Nabi
Muhammad ada yang digergaji
kepalanya namun tidak membuatnya
berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari
12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya
tidak peduli dengan kurungan penjara,
penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam
menghadapi cobaan yang menderanya
digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim,
“Saya belum pernah melihat seorang
yang masuk ke penguasa lebih tegar dari
Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu
di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang
sangat dahsyat dan deraan siksaan yang
luar biasa, beliau masih berpikir jernih
dan tidak emosi, tetap mengambil
pelajaran meski datang dari orang yang
lebih rendah ilmunya. Beliau
mengatakan, “Semenjak terjadinya
fitnah saya belum pernah mendengar
suatu kalimat yang lebih mengesankan
dari kalimat yang diucapkan oleh
seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai
Ahmad, jika anda terbunuh karena
kebenaran maka anda mati syahid, dan
jika anda selamat maka anda hidup
mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.
Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah
mendengar hal yang sangat aneh dari
orang-orang bodoh yang mengatakan,
“Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya
ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya
kebodohan, karena Imam Ahmad
memiliki pendapat-pendapat yang
didasarkan pada hadits yang tidak
diketahui oleh kebanyakan manusia,
bahkan beliau lebih unggul dari
seniornya”. Bahkan Imam Adz-Dzahabi
berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih
sampai derajat Laits, Malik dan Asy-
Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud
dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan
Ibrahim bin Adham, dalam hafalan
beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al
Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi
orang bodoh tidak mengetahui kadar
dirinya, bagaimana mungkin dia
mengetahui kadar orang lain!!
Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru
kepada banyak ulama, jumlahnya lebih
dari dua ratus delapan puluh yang
tersebar di berbagai negeri, seperti di
Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad,
Yaman dan negeri lainnya. Di antara
mereka adalah:
1. Ismail bin Ja’far
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
3. Umari bin Abdillah bin Khalid
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin
Dinar As-Sulami
5. Imam Asy-Syafi’i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah
9. Abdurrazaq
10. Ibrahim bin Ma’qil.
Murid-murid Beliau :
Umumnya ahli hadits pernah belajar
kepada imam Ahmad bin Hambal, dan
belajar kepadanya juga ulama yang
pernah menjadi gurunya, yang paling
menonjol adalah :
1. Imam Bukhari.
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga
pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad
bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad
bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
11. dan lain-lainnya. Wafat beliau :
Setelah sakit sembilan hari, beliau
Rahimahullah menghembuskan nafas
terakhirnya di pagi hari Jum’at
bertepatan dengan tanggal dua belas
Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77
tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan
ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh
ribu pelayat perempuan. Karya beliau
sangat banyak, di antaranya :
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling
menakjubkan karena kitab ini memuat
lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab At-Tafsir, namun Adz-Dzahabi
mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab Az-Zuhud
4. Kitab Fadhail Ahlil Bait
5. Kitab Jawabatul Qur’an
6. Kitab Al Imaan
7. Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah
8. Kitab Al Asyribah
9. Kitab Al Faraidh
Terlalu sempit lembaran kertas untuk
menampung indahnya kehidupan sang
Imam. Sungguh sangat terbatas
ungkapan dan uraian untuk bisa
memaparkan kilauan cahaya yang
memancar dari kemulian jiwanya.
Perjalanan hidup orang yang meneladai
panutan manusia dengan sempurna,
cukuplah itu sebagai cermin bagi kita,
yang sering membanggakannya namun
jauh darinya.
Dikumpulkan dan diterjemahkan dari
kitab Siyar A’lamun Nubala
Karya Al Imam Adz-Dzahabi
Rahimahullah
Continue reading →

Hukum Memperingati Maulid Nabi

0 komentar
Banyak sekali pertanyaan yang di
ajukan oleh kebanyakan kaum muslimim
tentang hukum Memperingati Maulid Nabi
Muhammad sholallahu ‘alahi wa sallam
dan hukum mengadakannya setiap
kelahiran beliau.
Adapun jawabannya adalah : TIDAK
BOLEH merayakan peringatan maulid nabi
karena hal itu termasuk bid’ah yang di
ada-adakan dalam agama ini, karena
Rasulullah tidak pernah merayakannya,
tidak pula para khulafaur rosyidin dan
para sahabat, serta tidak pula para para
tabi’in pada masa yang utama,
sedangkan mereka adalah manusia yang
paling mengerti dengan As-sunnah, paling
cinta kepada Rasulullah, dan paling
ittiba’ kepada syari’at beliau dari pada
orang – orang sesudah mereka.
Telah tsabit (tetap) dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa beliau
bersabda : “ Barang siapa mengadakan
perkara baru dalam (agama) kami ini
yang tidak ada asal darinya, maka
perkara itu tertolak. “(HR. Bukhori
Muslim).
Dan beliau telah bersabda dalam hadits
yang lain : “ (Ikutilah) sunnahku dan
sunnah khulafaur rosyidin yang di beri
petunjuk sesudahku. Peganglah (kuat-
kuat) dengannya, gigitlah sunnahnya itu
dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah
perkara-perkara yang di adakan-adakan
adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.
(HR. Tirmidzi dan dia berkata : Hadits
ini hasan shohih).
Dalam kedua hadits ini terdapat
p eringatan yang keras terhadap mengada-
adakan bid’ah dan beramal dengannya.
Sungguh Alloh telah berfirman : “ Apa
yang telah di berikan Rasul kepadamu,
maka ambillah dan apa yang di larangnya
bagimu maka tinggalkanlah. “(QS. Al-
Hasyr : 7).
Alloh juga berfirman : “ Maka hendaknya
orang yang menyalahi perintah-Nya,
takut akan di timpa cobaan atau di timpa
adzab yang pedih. “(QS. AN-Nuur : 63).
Allah juga berfirman : “ Orang-orang
yang terdahulu yang pertama-tama
(masuk islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshor dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridho kepada mereka dan mereka
ridho kepada Allah. Dan Allah
menyediakan untuk mereka surga-surga
yang di bawahnya ada sungai-sungai
yang mengalir, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah keberuntungan
yang besar. “(QS. At-Taubah : 100).
Allah juga berfirman : “ Pada hari ini
telah aku sempurnakan untukmu
agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu ni’mat-Ku dan Aku ridho Islam
sebagai agamamu. “(QS. Al Maidah : 3).
Dan masih banyak ayat yang semakna
dengan ini.
Mengada-adakan Maulid berarti telah
beranggapan bahwa Allah belum
menyempurnakan agama ini dan juga
(beranggapan) bahwa Rasulullah belum
menyampaikan seluruh risalah yang
harus di amalkan oleh umatnya. Sampai
datanglah orang-orang mutaakhirin
yang membuat hal-hal baru (bid’ah)
dalam syari’at Alloh yang tidak diijinkan
oleh Allah.
Mereka beranggapan bahwa dengan
maulid tersebut dapat mendekatkan
umat islam kepada Allah. Padahal,
maulid ini tanpa di ragukan lagi
mengandung bahaya yang besar dan
menentang Allah dan Rasul-Nya karena
Allah telah menyempurnan agama Islam
untuk hamba-Nya dan Rasulullah telah
menyempurnakan seluruh risalah
sampai tak tertinggal satupun jalan yang
dapat menghubungkan ke surga dan
menjauhkan dari neraka, kecuali beliau
telah meyampaikan kepada umat ini.
Sebagimana dalam hadits shohih
disebutkan, dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “ Tidaklah Allah mengutus
seorang nabi kecuali wajib atas nabi itu
menunjukkan kebaikan dan
memperingatkan umatnya dari kejahatan
yang Allah ajarkan atasnya. “(HR.
Muslim).
Dan sudah di ketahui bahwa nabi kita
adalah nabi yang paling utama dan
penutup para nabi. Beliau adalah nabi
yang paling sempurna dalam
menyampaikan risalah dan nasehat.
Andaikata perayaan maulid termasuk
dari agama yang di ridhoi oleh Allah,
maka pasti Rasulullah akan
menerangkan hal tersebut kapada
umatnya atau para sahabat
melakukannya setelah wafatnya beliau.
Namun, karena tidak terjadi sedikitpun
dari maulid saat itu, dapatlah di ketahui
bahwa maulid bukan berasal dari islam,
bahkan termasuk dalam bid’ah yang
telah Rasulullah peringatkan darinya
kepada umat beliau. Sebagaimana dua
hadits yang telah lalu. Dan ada juga
hadits yang semakna dengan keduanya. ,
di antaranya sabda beliau dalam
khutbah jum’at : “ Amma ba’du, maka
sebaik-baiknya perkataan adalah Kitabullah
(Al-Qur’an) dan sebaik-baiknya petunjuk
adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-
jeleknya perkara adalah perkara yang di
ada-adakan dan setiap bid’ah itu sesat.
“(HR. Muslim). Ayat-ayat dan hadits-
hadits dalam bab ini banyak sekali, dan
sungguh kebanyakan para ulama telah
menjelaskan kemungkaran maulid dan
memperingatkan umat darinya dalam
rangka mengamalkan dalil-dalil yang
tersebut di atas dan dalil-dalil lainnya.
Namun sebagian mutaakhirin (orang-
orang yang datang belakangan ini)
memperbolehkan maulid bila tidak
mengandung sedikitpun dari beberapa
kemungkaran seperti : Ghuluw (berlebih-
lebihan) dalam mengagungkan
Rasulullah, bercampurnya wanita dan
laki-laki, menggunakan alat-alat musik
dan lain-lainnya, mereka menganggap
bahwa Maulid adalah termasuk BID’AH
HASANAH, sedangkan Qo’idah
Syara’ (kaidah-kaidah / peraturan
syari’at ini) mengharuskan
mengembalikan perselisihan tersebut
kepada kitab Allah dan sunnah
Rasulullah, sebagaimana Allah
berfirman :
“ Hai orang-orang yang beriman taatlah
kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada Rasul dan Ulil Amri dari kalian
maka bila terjadi perselisihan di antara
kalian tentang sesuatu kembalikanlah
kepada (kitab) Allah dan (sunnah)
RasulNya bila kalian memang beriman
kepada Allah dan hari akhir demikian itu
lebih baik dan lebih bagus akibatnya.
“(QS. Ann Nisaa’ : 59).
Allah juga berfirman : “ Tentang sesuatu
apapun yang kamu berselisih, maka
putusannya (harus) kepada (kitab) Allah,
“(QS. Asy Syuraa : 10).
Dan sungguh kami telah mengembalikan
masalah perayaan maulid ini kepada
kitab Allah. Kami menemukan bahwa
Allah memerintahkan kita untuk
ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah
terhadap apa yang beliau bawa dan
Allah memperingatkan kita dari apa
yang dilarang. Allah juga telah
memberitahukan kepada kita bahwa Dia
Shubhanahu wa Ta’ala telah
menyempurnakan Agama Islam untuk
umat ini. Sedangkan, perayaan maulid
ini bukan termasuk dari apa yang
dibawa Rasulullah dan juga bukan dari
agama yang telah Allah sempurnakan
untuk kita. Kami juga mengembalikan
masalah ini kepada sunnah Rasulullah.
Dan kami tidak menemukan di
dalamnya bahwa beliau telah melakukan
maulid.
Beliau juga tidak memerintahkannya
dan para sahabat pun tidak
melakukannya. Dari situ kita ketahui
bahwa maulid bukan dari agama Islam.
Bahkan, maulid termasuk bid’ah yang
diada-adakan serta bentuk tasyabbuh
(menyerupai) orang yahudi dan nasrani
dalam perayaan-perayaan mereka. Dari
situ jelaslah bagi setiap orang yang
mencintai kebenaran dan adil dalam
kebenaran, bahwa perayaan maulid
bukan dari agama Islam bahkan
termasuk bid’ah yang diada-adakan
yang mana Allah dan Rasulnya telah
memerintahkan agar meningggalkan
serta berhati-hati darinya. Tidak pantas
bagi orang yang berakal sehat untuk
tertipu dengan banyaknya orang yang
melakukan maulid di seluruh penjuru
dunia, karena kebenaran tidak diukur
dengan banyaknya pelaku, tapi diukur
dengan dalil-dalil syar’i, sebagaimana
Allah berfirman tentang Yahudi dan
Nasrani : “ Dan mereka (Yahudi dan
Nasrani) berkata : ‘Sekali-kali tidak akan
masuk surga kecuali orang-orang (yang
beragama) Yahudi dan Nasrani’.
Demikianlah itu (hanya) angan-angan
kosong mereka belaka. Katakanlah :’
Tunjukkanlah bukti kebenaran jika kamu
adalah orang yang benar . ” (QS. Al
Baqarah : 111).
Allah juga berfirman : “ Dan jika kamu
mengikuti kebanyakan orang-orang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Alloh. “ (QS.
Al An’aam : 116 ). Wallahu a’lamu bis
showab.
Maroji’ :
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Ilyas
Agus Su’aidi As-Sadawy dari kitab At-
Tahdzir minal Bida’, hal 7-15 dan 58-59,
karya Syaikh Abdul Azis bin Abdullah
bin Baaz rahimahullah. Untuk lebih
jelasnya lagi dapat dilihat dalam
bebrapa rujukan berikut :
1. Mukhtashor Iqtidho’ Ash Shirot Al
Mustaqim (hal. 48-49) karya ibnu
Taimiyah.
2. Majmu’u Fataawa (hal. 87-89) karya
Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin.
BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH,
Surabaya Edisi : 15 / Robi’ul Awal / 1425
Continue reading →

Tahlilan Tidak Di Kenal Di Zaman Rosulullah Dan Para Sahabat

0 komentar
Para pembaca, pembahasan kajian kali
ini bukan dimaksudkan untuk
menyerang mereka yang suka tahlilan,
namun sebagai nasehat untuk kita
bersama agar berpikir lebih jernih
bahwa kita (umat Islam) memiliki
pedoman baku yang telah diyakini
keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As
Sunnah.
Telah kita maklumi bersama bahwa
acara tahlilan merupakan upacara ritual
seremonial yang biasa dilakukan oleh
keumuman masyarakat Indonesia untuk
memperingati hari kematian. Secara
bersama-sama, berkumpul sanak
keluarga, handai taulan, beserta
masyarakat sekitarnya, membaca
beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir,
dan disertai do’a-do’a tertentu untuk
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari
sekian materi bacaannya terdapat
kalimat tahlil yang diulang-ulang
(ratusan kali bahkan ada yang sampai
ribuan kali), maka acara tersebut
dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Maha Suci Allah yang telah menurunkan
Al Qur’an dan mengutus Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
sebagai penjelas dan pembimbing untuk
memahami Al Qur’an tersebut sehingga
menjadi petunjuk bagi umat manusia.
Semoga Allah subhanahu wata’ala
mencurahkan hidayah dan inayah-Nya
kepada kita semua, sehingga dapat
membuka mata hati kita untuk
senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa
acara tahlilan merupakan upacara ritual
seremonial yang biasa dilakukan oleh
keumuman masyarakat Indonesia untuk
memperingati hari kematian. Secara
bersama-sama, berkumpul sanak
keluarga, handai taulan, beserta
masyarakat sekitarnya, membaca
beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir,
dan disertai do’a-do’a tertentu untuk
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari
sekian materi bacaannya terdapat
kalimat tahlil yang diulang-ulang
(ratusan kali bahkan ada yang sampai
ribuan kali), maka acara tersebut
dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan
setelah selesai proses penguburan
(terkadang dilakukan sebelum
penguburan mayit), kemudian terus
berlangsung setiap hari sampai hari
ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali
pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk
selanjutnya acara tersebut diadakan tiap
tahun dari hari kematian si mayit,
walaupun terkadang berbeda antara
satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut
penjamuan yang disajikan pada tiap kali
acara diselenggarakan. Model penyajian
hidangan biasanya selalu variatif,
tergantung adat yang berjalan di tempat
tersebut. Namun pada dasarnya menu
hidangan “lebih dari sekedarnya”
cenderung mirip menu hidangan yang
berbau kemeriahan. Sehingga acara
tersebut terkesan pesta kecil-kecilan,
memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara
tersebut diselenggarakan, hingga tanpa
disadari menjadi suatu kelaziman.
Konsekuensinya, bila ada yang tidak
menyelenggarakan acara tersebut
berarti telah menyalahi adat dan
akibatnya ia diasingkan dari
masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi
acara tersebut telah membangun opini
muatan hukum yaitu sunnah (baca:
“wajib”) untuk dikerjakan dan
sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan
ajaib) apabila ditinggalkan.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini
telah lama menjadi pro dan kontra di
kalangan umat Islam. Sebagai muslim
sejati yang selalu mengedepankan
kebenaran, semua pro dan kontra harus
dikembalikan kepada Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah
yang sepatutnya dimiliki oleh setiap
insan muslim yang benar-benar
beriman kepada Allah subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah
subhanahu wata’ala telah berfirman
(artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul
(As Sunnah), jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Yang demikian itu lebih utama bagi
kalian dan lebih baik akibatnya. ” (An
Nisaa’: 59)
Sejarah Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan
sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan
tidak dijumpai di masa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para
sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun
Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut
tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam
Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik,
Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan
ulama lainnya yang semasa dengan
mereka ataupun sesudah mereka. Lalu
dari mana sejarah munculnya acara
tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari
upacara peribadatan (baca: selamatan)
nenek moyang bangsa Indonesia yang
mayoritasnya beragama Hindu dan
Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk
penghormatan dan mendo’akan orang
yang telah meninggalkan dunia yang
diselenggarakan pada waktu seperti
halnya waktu tahlilan. Namun acara
tahlilan secara praktis di lapangan
berbeda dengan prosesi selamatan
agama lain yaitu dengan cara mengganti
dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama
lain dengan bacaan dari Al Qur’an,
maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala
Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa
mengetahui bahwa sebenarnya acara
tahlilan merupakan adopsi
(pengambilan) dan sinkretisasi
(pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus
pada dua acara yang paling penting
yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/
surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan
disertai dengan do’a-do’a tertentu yang
ditujukan dan dihadiahkan kepada si
mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali
dalam kaca mata Islam, walaupun secara
historis acara tahlilan bukan berasal
dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang
membolehkan acara tahlilan, mereka
tiada memiliki argumentasi (dalih)
melainkan satu dalih saja yaitu istihsan
(menganggap baiknya suatu amalan)
dengan dalil-dalil yang umum sifatnya.
Mereka berdalil dengan keumuman ayat
atau hadits yang menganjurkan untuk
membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun
berdoa dan menganjurkan pula untuk
memuliakan tamu dengan menyajikan
hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan
do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan
kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan
untuk membaca Al Qur’an, berdzikir
dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan
membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan
do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi
dengan menentukan cara, waktu dan
jumlah tertentu (yang diistilahkan
dengan acara tahlilan) tanpa merujuk
praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya bisa
dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan
kesepakatan umat Islam semuanya,
karena memang telah dinyatakan oleh
Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-
Nya. Allah subhanahu wata’ala
berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agama Islam bagi kalian, dan telah Aku
sempurnakan nikmat-Ku atas kalian
serta Aku ridha Islam menjadi agama
kalian. ” (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﺷَﻲْﺀٌ ﻳُﻘَﺮِّﺏُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻭَﻳُﺒَﺎﻋِﺪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺇِﻻَّ
ﻗَﺪْ ﺑُﻴِّﻦَ ﻟَﻜُﻢْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat
mendekatkan kepada Al Jannah (surga)
dan menjauhkan dari An Naar (neraka)
kecuali telah dijelaskan kepada kalian
semuanya. ” (H. R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan
suatu landasan yang agung yaitu bahwa
Islam telah sempurna, tidak butuh
ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada
suatu ibadah, baik perkataan maupun
perbuatan melainkan semuanya telah
dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam mendengar berita tentang
pernyataan tiga orang, yang pertama
menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud
dan tidak akan tidur malam”, yang
kedua menyatakan: “Saya akan
bershaum (puasa) dan tidak akan
berbuka”, yang terakhir menyatakan:
“Saya tidak akan menikah”, maka
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
menegur mereka, seraya berkata: “Apa
urusan mereka dengan menyatakan
seperti itu? Padahal saya bershaum dan
saya pun berbuka, saya shalat dan saya
pula tidur, dan saya menikahi wanita.
Barang siapa yang membenci sunnahku
maka bukanlah golonganku.
” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah
Islam tidak akan diterima oleh Allah
subhanahu wata’ala kecuali bila
memenuhi dua syarat yaitu ikhlas
kepada Allah dan mengikuti petunjuk
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Allah subhanahu wata’ala menyatakan
dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji siapa
diantara kalian yang paling baik
amalnya. ” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan
makna “yang paling baik amalnya” ialah
yang paling ikhlash dan yang paling
mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan
shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu
jelek, bahkan keduanya merupakan
ibadah mulia bila dikerjakan sesuai
tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih
niat baik (istihsan) semata -seperti
peristiwa tiga orang didalam hadits
tersebut- tanpa mencocoki sunnah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
maka amalan tersebut tertolak. Simaklah
firman Allah subhanahu wata’ala
(artinya): “Maukah Kami beritahukan
kepada kalian tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya. Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia
ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka telah berbuat sebaik-
baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits
‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan
diatas petunjuk kami, maka amalan
tersebut tertolak. ” (Muttafaqun alaihi,
dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah
kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
ﻓَﺎﻷَﺻْﻞُ ﻓَﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟﺒُﻄْﻼَﻥُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻘُﻮْﻡَ ﺩَﻟِﻴْﻞٌ
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻣْﺮِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah
batal, hingga terdapat dalil (argumen)
yang memerintahkannya. ”
Maka beribadah dengan dalil istihsan
semata tidaklah dibenarkan dalam
agama. Karena tidaklah suatu perkara
itu teranggap baik melainkan bila Allah
subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya
menganggapnya baik dan tidaklah suatu
perkara itu teranggap jelek melainkan
bila Allah subhanahu wata’ala dan
Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih
menukik lagi pernyataan dari Al Imam
Asy Syafi’I:
ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﺤْﺴَﻦَ ﻓَﻘَﺪْ ﺷَﺮَﻉَ
“Barang siapa yang menganggap baik
suatu amalan (padahal tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah –pent)
berarti dirinya telah menciptakan
hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam
madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang
hukum bacaan Al Qur’an yang
dihadiahkan kepada si mayit, beliau
diantara ulama yang menyatakan bahwa
pahala bacaan Al Qur’an tidak akan
sampai kepada si mayit. Beliau berdalil
dengan firman Allah subhanahu
wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh (pahala) selain apa yang
telah diusahakannya”. (An Najm: 39),
(Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian
hidangan untuk para tamu merupakan
perkara yang terpuji bahkan dianjurkan
sekali didalam agama Islam. Namun
manakala penyajian hidangan tersebut
dilakukan oleh keluarga si mayit baik
untuk sajian tamu undangan tahlilan
ataupun yang lainnya, maka memiliki
hukum tersendiri. Bukan hanya saja
tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bahkan perbuatan ini telah melanggar
sunnah para sahabatnya radhiallahu
‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu
‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata:
“Kami menganggap/ memandang
kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit, serta penghidangan makanan
oleh keluarga mayit merupakan bagian
dari niyahah (meratapi mayit). ” (H. R
Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah
keluarga mayit dan penjamuan
hidangan dari keluarga mayit termasuk
perbuatan yang dilarang oleh agama
menurut pendapat para sahabat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
dan para ulama salaf. Lihatlah
bagaimana fatwa salah seorang ulama
salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam
masalah ini. Kami sengaja menukilkan
madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena
mayoritas kaum muslimin di Indonesia
mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam
salah satu kitabnya yang terkenal yaitu
‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara
berkumpulnya orang (di rumah keluarga
mayit –pent) meskipun tidak disertai
dengan tangisan. Karena hal itu akan
menambah kesedihan dan memberatkan
urusan mereka. ” (Lihat Ahkamul Jana-iz
karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al
Imam An Nawawi seorang imam besar
dari madzhab Asy Syafi’i setelah
menyebutkan perkataan Asy Syafi’i
diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh
Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini
adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um,
dan inilah yang diikuti oleh murid-
murid beliau. Adapun pengarang kitab
Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan
lainnya berargumentasi dengan
argumen lain yaitu bahwa perbuatan
tersebut merupakan perkara yang diada-
adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan
tersebut dinisbahkan kepada madzhab
Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan
bagi tetangga keluarga mayit yang
menghidangkan makanan untuk
keluarga mayit, supaya meringankan
beban yang mereka alami. Sebagaimana
bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadistnya:
ﺍﺻْﻨَﻌُﻮﺍ ﻵﻝِ ﺟَﻌْﻔَﺮَ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺗَﺎﻫُﻢْ ﺃَﻣْﺮٌ ﻳُﺸْﻐِﻠُﻬُﻢْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga
Ja’far, Karena telah datang perkara
(kematian-pent) yang menyibukkan
mereka. ” (H. R Abu Dawud, At Tirmidzi
dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa
memberikan penerangan bagi semua
yang menginginkan kebenaran di tengah
gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
Continue reading →
Saturday 11 January 2014

Perkembangan Dakwah Salaf Di Indonesia

0 komentar
Perkembangan Dakwah Salafiyah Di Indonesia Oleh Ustadz Abdurrahman bin Abdul Karim At-Tamimi hafidhahullah Disampaikan tgl 13-15 jumadil Akhir 1425 H/1-3 Juli 2004 M di Markaz Al Imam Al Albani di Jordania Setelah memuji Allah
dan bershalawat kepada nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, beliau menyampaikan makalahnya
sebagai berikut :
Yang mulia, para Syaikh .....,
Yang mulia Syaikh kami Asy-Syaikh Salim bin Id
al-Hilali Direktur Markaz Al Imam Al-Albani dan
para anggotanya yang aktif serta kepada
saudara-saudaraku yang hadir dari kalangan
para ulama yang mulia, dan saudara-saudaraku
para penuntut ilmu.
Saya mengucapkan penghormatan kepada anda
sekalian dengan penghormatan Islami :
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Sungguh sangat menggembirakan dan
membahagiakan diri saya karena dapat berdiri di
tempat yang mulia ini dan pertemuan yang
diberkahi ini dengan izin Allah Subhanahu wa
Ta'ala dengan membawa salam dari saudara-
saudara anda, salafiyyin di Indonesia,
sebagaimana hal ini wajib bagi diri saya sebagai
wakil dari Ma'had kami, Ma'had Al Irsyad Al
Islami beserta seluruh salafiyyin di Indonesia,
agar saya berterima kasih kepada Markaz kita,
Markaz Al Imam Al Albani, terutama kepada
direkturnya Syaikhuna Asy Syaikh Salim bin Id Al
Hilali hafidhahullah (semoga Allah menjaga
beliau) yang telah memuliakan kami dengan
mengundang kami untuk ikut serta pada
Muktamar yang diberkahi ini, dan mengizinkan
kami ikut andil dalam memberikan beberapa
patah kata yang berjudul :
"Perkembangan Dakwah Salafiyyah Di Indonesia"
dengan pertimbangan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Islam terbesar, ditinjau dari
jumlah penduduknya yang beragama Islam.
Saya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Yang Maha Mulia lagi Maha tinggi agar Dia
memberkahi kesungguhan beliau dan saudara-
saudara beliau dalam meninggikan dakwah yang
diberkahi ini, yang mana kita hidup dari
kemuliaan dakwah ini. Dan kami memohon
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar
mematikan kami diatas dakwah ini, dan agar Dia
memberkahi Markaz Al Imam Al Abani ini yang
darinya terpancar cahaya keimanan,
ketentraman dan keamanan.
Mengawali ceramah ini saya katakan : "Tidaklah
diketahui secara pasti awal mula masuknya
agama Islam ke negeri Indonesia dan pulau-
pulau disekitarnya." Pendapat para ahli sejarah
berbeda-beda tentang sejarah timur jauh . Dan
yang paling mendekati kebenaran, bahwasanya
awal mula masuknya agama Islam dan
penyebarannya terjadi pada akhir abad pertama
hijriyah, dengan perantaraan para pedagang
Arab yang datang dari selatan semenanjung
Arab.[Lihat kitab yang dikarang Arnold The
Preaching of Islam hal 262 terbitan London
1913M]
Al Ustadz Arnold berkata : "Sesungguhnya Islam
dibawa ke Asia tenggara oleh orang-orang Arab
pada abad -abad pertama hijriyah." Disebutkan
dalam kitab “Nukhbatul Dahri” karya
Syamsyuddin Ubaidillah Muhammad bin Tholib
Ad Dimasyqi yang terkenal dengan julukan
“Syaikhur Robwah” wafat pada tahun 727 H :
"Sesungguhnya agama Islam sampai di jazirah
Indonesia pada tahun 30 H).”
Seorang petualang asal Irak yang bernama
Yunus Bahri berkata dalam buku hariannya, yang
teksnya : "Pertama kali penguasa beragama
Hindu dari kalangan kerajaan Pajajaran masuk
Islam, dan keislamannya adalah pembuka era
yang baru bagi tersebarnya agama Islam."
Dan sejarah memberitakan kepada kita
bahwasanya kerajaan Islam yang pertama,
berdiri di Demak dengan dukungan para ulama
yang bermadzhab Syafi'i.
Beberapa riwayat mengatakan sesungguhnya
para penguasa pemerintahan di Demak adalah
yang menghancurkan patung-patung dan
membuangnya di tengah lautan.
Sungguh telah bersinar bintang kerajaan Demak
pada tahun 1478 M hingga tahun 1546 M. Dan
Demak (dahulu) adalah pusat bagi para
penguasa Islam di Jawa. Dan bisa jadi
tersebarnya madzhab Syafi’i di Indonesia dan
Hadromaut memberikan kepada kita bukti yang
pasti bahwa orang-orang yang membawa
agama Islam ke Indonesia adalah para
pedagang Hadromaut.
Adapun faktor-faktor yang membantu
tersebarnya agama Islam dengan cepat di
Indonesia dan pulau-pulau sekitarnya dapat
diringkas dengan beberapa hal berikut ini :
[1]. Mudahnya agama Islam, tidak terdapat hal-
hal yang rumit bagi seseorang yang berkeinginan
memeluk agama Islam.
[2]. Jernihnya hati penduduk Indonesia dan
fitrah mereka yang siap untuk memeluk agama
Islam.
[3]. Pernikahan yang terjadi antara orang-orang
Arab dengan penduduk Indonesia.
[4]. Akulturasi bangsa Arab dengan penduduk
Indonesia dan pergaulan mereka dengan
penduduk Indonesia seperti saudara sekandung.
Berlalulah tahun demi tahun, dan hubungan
antara para pendatang dan penduduk Indonesia
dalam keadaan semakin baik. Akulturasi
penggabungan budaya) semakin bertambah
mendalam pada awal-awal pertengahan kedua
pada abad ke-20, dimana seorang Arab tidak
datang dengan Istrinya ke Indonesia, namun
Setiap pendatang menikah dengan penduduk
setempat.
Dan sungguh hijrahnya orang-orang Arab dari
selatan Arab ke Indonesia adalah termasuk
hijrah yang terbesar jika dilihat dari jenisnya.
Merupakan suatu keniscayaan, pendatang dari
Hadromaut yang beragama Islam akan
mendapatkan gangguan dan perlawanan dari
penduduk Indonesia, terlebih lagi dari para
penguasa dan pemuka mereka, namun hati
penduduk Indonesia masih didominasi oleh
keluguan dan bahkan bersikap loyal terhadap
mereka. Mereka tidak melihat dari para
pendatang Hadromaut sesuatu yang perlu
diwaspadai dan mengeruhkan suasana.
Sebenarnya, orang-orang Hadromaut itu pada
asalnya tidak datang ke negeri Indonesia untuk
mendirikan sebuah negara atau menyebarkan
agama. Tujuan yang paling utama bagi mereka
adalah berdagang dan mencari rezki. Kemudian
para pedagang itu dengan fitrah mereka yang
sabar, keras, cerdas, rajin dan amanah dalam
bermuamalah, jujur dalam berkata, mampu
membuat jalan mereka di negeri yang jauh ini.
Hingga pada suatu masa mereka mampu
menguasai perdagangan dan mengokohkan
markaz mereka dan “meluncur cepat” diantara
para penduduk yang berbeda jenis, bahasa,
agama, akhlak dan adat-istiadat dengan
mereka.
Kemudian pemerintahan Belanda menyempitkan
mereka, pemerintahan Belanda bersikap keras
dalam penerapan hijrah atas orang-orang
Hadromaut. Pemerintahan Belanda
mengumpulkan mereka dalam suatu daerah
khusus serta tidak memperbolehkan mereka
berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya
melainkan dengan izin khusus dan setelah susah
payah memperolehnya. Sikap keras dan tekanan
ini berjalan bertahun-tahun.
Pada tahun 1916 M, pemerintahan Belanda
memberikan semacam kebebasan. Dan pada
tahun 1919 M, pemerintah Belanda mencabut
tekanan itu dan memberikan kebebasan bagi
mereka berpindah dari satu kota ke kota lainnya,
dari satu desa ke desa lainnya, dari satu pulau
ke pulau lainnya tanpa ada kesulitan yang
mereka jumpai dihadapan mereka. [Lihat kitab
“Tarikhul Irsyad fi Indonesia”, oleh Ustadz
Sholah Abdul Qadir Bakri hal 10-12]
Dengan berlalunya masa, rusaklah tauhid di
negeri Indonesia ini, yang mana tauhid
merupakan kekuatan dan pokok dakwah Islam,
dan masuklah ke dalam Islam berbagai syubhat
(kesamaran) dan kerusakan.
Kuburan-kuburan para wali didatangi orang-
orang bodoh untuk berziarah kepadanya, para
wanita bernazar untuknya, orang awam meyakini
bahwasanya kuburan-kuburan itu mampu
memberi manfaat dan memberi mudharat,
thariqoh sufiyyah meliputi seluruh negeri,
fanatisme madzhab telah mencapai puncaknya
maka kebodohanpun merata, kegelapan
menguasai, ditambah lagi kegelapan penjajahan
Belanda - pada waktu itu - yang melemahkan
negeri Indonesia dibawah belenggunya.
Akan tetapi Allah tidak menginginkan melainkan
Dia sempurnakan cahaya-Nya. Allah
memunculkan untuk negeri ini seorang lelaki
shalih, seorang reformis yang datang dari negeri
Sudan pada bulan Rabiul Awwal 1329, yang
menyeru manusia kepada tauhid, memerangi
kesyirikan, khurafat, bid'ah dan ta'ashub
terhadap madzhab, beliau adalah Syaikh Ahmad
bin Muhammad As Syurkati - rahimahullah - .
Dakwah beliau meliputi seluruh negeri, dan
beliau telah mencetak kader yang menolong dan
membantu dakwah beliau diseluruh jazirah
Indonesia. Syaikh Ahmad Syurkati terpengaruh
dengan dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin
Abdul Wahhab - rahimahullah - dan juga Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha - rahimahullah -
beserta majalahnya “Al Manar”. Beliau
mengarang , mengajar, dan membangun
"Madrsasah Al-Irsyad" pada tahun 1914 M.
Akan tetapi musuh-musuh beliau dari kalangan
pengikut thariqot Sufiyyah dan aliran bid'ah
memerangi, memusuhi, dan menghalangi
dakwah beliau. Namun hal itu tidak mengusik
beliau, dan beliau terus berdakwah hingga Allah
mewafatkan beliau pada tanggal 16 Ramadhan
1326, semoga Allah merahmati beliau seperti
rahmat-Nya kepada orang- orang yang berbakti.
Akan tetapi sebagai sebuah amanah ilmiyyah
dan sebuah sejarah kami tidak mengatakan,
bahwa dakwah Syaikh Ahmad Syurkati adalah
dakwah salafiyyah yang murni, yang mana hal
ini dikarenakan lemahnya penyebaran dan
pondasi dakwah salafiyyah pada saat itu, hanya
saja dakwah beliau telah mempersiapkan jalan
untuk kepada dakwah salafiyyah yang murni,
dimana pada pemikiran beliau terdapat sebagian
hal-hal yang menyelisihi dan menyimpang dari
aqidah salafiyyah, seperti pengingkaran beliau
akan datangnya Al Mahdi, dan turunnya nabi Isa
-alaihissalam - yang telah jelas kebenaran
dalilnya dengan pasti dalam Al Qur'an dan
sunnah nabi yang shahih. Akan tetapi kita tidak
melupakan keutamaan beliau dan keutamaan
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan
majalahnya "Al Manar" dalam pencerahan akal-
akal kaum muslimin yang bodoh terhadap
agama mereka dan memerangi bid'ah, kesyirikan
dan sikap beliau berdua yang membuang
fanatisme madzhab serta dakwah mereka (yang
menyeru) untuk berpegang teguh kepada Al
Qur'an dan sunnah yang shahih sesuai dengan
pemahaman Salaful Ummah.
Keadaan ini terus berlangsung demikian hingga
penjajahan Belanda pergi dan membawa
kekuasaannya dari negeri Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 M. Sesudah itu
datanglah bibit- bibit penjajahan Belanda dari
kalangan orang-orang sekuler dan atheis, yang
mana mereka memerintah negeri ini dengan
menyempitkan ruang gerak kebebasan beragama
kaum muslimin, hingga sirnalah mendung dan
pudar bala bencana dengan perginya
pemerintahan Sukarno serta gagallah
pemberontakan komunis di negeri ini pada tahun
1965 M, yang demikian ini merupakan karunia
Allah semata, dan segala puji bagi Allah yang
dengan nikmat-Nya sempurnalah segala
kebaikan.
Kemudian datanglah sesudah itu era kebebasan
berdakwah, hanya saja yang sangat disayangkan
bahwa dakwah salafiyyah sangat disayangkan
tidak ikut serta di medan dakwah ini
dikarenakan tidak adanya para dai salafiyyin
yang mampu - kecuali mereka yang dirahmati
Allah -. Hingga dibuka di Jakarta pada tahun
1401 H, bertepatan pada tahun 1981 M, Ma'had
yang metodenya mengikuti Universitas Al Imam
Muhammad bin Suud Al Islamiyyah di Riyadh,
dan banyak penduduk negeri ini yang sekolah
padanya, namun sangat disayangkan lulusan
dari Ma'had ini tidak mengetahui banyak
tentang hakekat manhaj salaf, kebanyakan
mereka berakidah salafiyyah - sesuai dengan
pelajaran yang diajarkan di negeri mereka-
hanya saja manhaj mereka Ikhwani
(berpemahaman ikhwanul muslimin) yang
menyimpang, bahkan banyak diantara mereka -
sesudah itu - bergabung dengan kelompok-
kelompok (hizbiyyah) Islam di negeri ini, dan
yang berada pada barisan terdepannya adalah
partai keadilan "Al Ikhwani,” dan mereka menjadi
pemimpin pada partai ini.
Negeri Indonesia belumlah lama mengenal
dakwah salafiyyah yang murni dan benar, tidak
lebih dari 10 tahun yang lalu melalui perantaraan
sebagian putra-putra Indonesia yang lulus dari
Universitas Islam Madinah, dan mereka
terpengaruh dengan para ulama salafiyyin di
Madinah sedangkan mereka itu sedikit.
Pengaruh yang jelas dan penyebaran yang luas
dakwah salafiyyah ini juga timbul dari
penyebaran dan penerjemahan kitab-kitab
salafiyyah ke dalam bahasa Indonesia dari para
ulama salaf, baik yang lampau maupun ulama
pada saat ini. Dari buku-buku itulah mereka
mengenal manhaj salaf yang benar. Berada pada
bagian yang terdepan dalam hal ini adalah
kitab-kitab Syaikhuna Al Imam Sayyidul
Muhadditsin (Pemimpin ahli hadits) zaman ini,
Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin Al
Albani dan murid- murid beliau yang muhkhlis,
kemudian buku-buku Al Allaamah Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz dan Al Allaamah Al
Imam ahli fikih zaman ini Syaikh Muhammad bin
Shalih Al utsaimin. Sungguh kitab-kitab,
karangan-karangan dan fatwa-fatwa mereka
tersebar di seluruh jazirah Indonesia, dan
penduduk negeri ini benar-benar mendapatkan
manfaat darinya. Selain itu, demikian pula kitab-
kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid
beliau Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dan
kitab-kitab Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul
Wahhab dan anak-anak beserta cucu-cucu
beliau yang shalih. Dan dapat saya katakan
bahwa kitab-kitab salafiyyah pada saat ini
adalah kitab- kitab Islam terbesar yang tersebar
di Indonesia - segala puji bagi Allah atas
karunia-Nya.
Para da’i Salafiyyin menegakkan dakwah dengan
semangat dan penuh kesungguhan, mereka
berkeliling di Jazirah Indonesia, baik kota
maupun desanya, dan mereka membangun
sekolah-sekolah dan pondok pesantren
salafiyyah di beberapa tempat sehingga
tersebarlah dakwah salafiyyah sebagaimana
menjalarnya api pada rumput kering.
Manusiapun menerima dakwah yang murni dari
sikap berlebih-lebihan bersikap ekstrim ini,
dengan penerimaan yang baik.
Mereka (para da’i) salafiyyah ini tidak mencari
kenikmatan dunia yang fana, tidak menginginkan
kursi-kursi kekuasaan dan tidak pula bermain
dalam hidangan politik, akan tetapi keinginan
mereka adalah mendidik generasi dengan
pendidikan Islam yang benar diatas dasar
“tasfiyyah” (Pemurnian) dan
“tarbiyah” (Pendidikan) yang memurnikan
pemikiran-pemikiran yang mencemari agama
yang lurus ini berupa bid'ah dan khurafat,
dengan menumbuhkan, mendidik dan
mengembalikan generasi ini sebagaimana
generasi terbaik,karena tidak akan baik umat ini
hingga mereka beragama sebagaimana generasi
yang pertama. Tidaklah suatu kota, atau desa di
Indonesia sekarang ini, melainkan padanya
terdapat dakwah salafiyyah, sedikit atau banyak.
Namun dakwah salafiyyah ini menemui berbagai
rintangan yang merintangi jalannya, dan
demikianlah keadaan dakwah yang benar
(senantiasa mendapat rintangan) dan demikian
juga dakwah para rasul dan nabi. Penghalang
terbesar yang muncul adalah dari kaum hizbiyyin
(mereka yang fanatik pada kelompoknya) baik
dari kalangan "Quthbiyyin" (mereka yang
mengikuti pemahaman Sayyid Qutb) atau
"Sururiyyin" (mereka yang mengikuti
pemahaman Muhamad Surur) maupun
"Takfiriyyin" (mereka yang dengan mudah
mengkafirkan tanpa petunjuk ulama), demikian
juga dari kalangan orang-orang sekuler, thoriqot
suffiyyah dan aliran-aliran bid'ah lainnya.
Akan tetapi yang paling menyayat-nyayat jiwa
kami adalah sebagian orang yang menisbatkan
diri mereka kepada dakwah salafiyyah, akan
tetapi hakikatnya mereka adalah orang-orang
yang berbuat "ghuluw" (menyimpang dan
berlebih-lebihan dalam agama) dan ekstrim,
yang mana mereka memusuhi kami lantaran
hasad dan dengki yang telah memakan hati
mereka. Padahal mereka itu masih anak-anak
yang masih ingusan lagi bodoh.
Sungguh mereka telah menjauhkan manusia dari
dakwah salafiyyah yang haq ini, akibat perangai
mereka yang buruk dan dakwah mereka yang
kasar lagi jelek. Tidaklah seorang menyelisihi
mereka, sekalipun itu dari teman-teman mereka
sendiri, melainkan mereka membid'ahkannya dan
mengucilkannya dari pergaulan dengan mereka….
Akan tetapi segala puji bagi Allah, kekuatan
mereka hancur berkeping-keping sehingga hilang
dan lenyaplah kekuatan mereka. Tersingkaplah
keburukan mereka, permusuhan diantara mereka
sendiri sangat sengit, mereka bercerai-berai, dan
ini adalah pelajaran bagi orang yang mau
mengambil pelajaran. Sesungguhnya Allah tidak
akan memperbaiki perbuatan orang-orang yang
merusak. Sekalipun mereka melakukan suatu
perbuatan yang mereka inginkan untuk
mengelabui manusia…dan sekalipun mereka
merubah kulit-kulit (baju-baju) mereka untuk
menjelekkan dan mengacaukan.. dan sekalipun
mereka membaguskan penampilan mereka,
untuk menyembunyikan kejelekan mereka.
Semua itu - dan selainnya - sekali-kali tidak
akan ada kelangsungannya atau perbaikannya,
sekali-kali tidak akan berjalan bersamanya amal
kebenaran yang jelas, justru ia akan hilang dan
meleleh serta tidak akan kembali. (lihat tulisan
Syaikhuna Abul Harits Ali bin Al Hasan Al Atsari
di Majalah Al Ashalah edisi 32 hal. 10)
Dan adalah, dengan diadakannya "Daurah
Syariyyah tentang Aqidah dan Manhaj" oleh
Ma'had kami, Ma'had Ali Al Irsyad Al Islami
yang bekerjasama dengan Markaz yang mulia
ini, mempunyai dampak positif yang nyata/
produktif dalam menyebarkan dakwah Salafiyyah
dan memahamkan aqidah yang benar kepada
manusia, dan juga "manhaj" (metode) yang
benar, serta berdakwah dengan hikmah dan cara
yang baik, jauh dari sikap “ghuluw” (berlebih-
lebihan) dan melampaui batas. Telah ikut serta
dalam Daurah tersebut, para ulama yang mulia,
mereka adalah :
[1].Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Muhammad bin
Musa Alu Nashr
[2].Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Salim bin Id Al
Hilali
[3].Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Ali bin Hasan
Al Halabi Al Atsari
[4].Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Mashur bin
Hasan Alu Salman
Mereka telah menyampaikan ceramah-ceramah,
pelajaran-pelajaran, pertemuan-pertemuan yang
bermanfaat sekali bagi para penuntut ilmu
(semoga Allah membalas kebaikan bagi mereka)
dan banyak manusia telah mendapatkan
manfaat dari mereka. Daurah tersebut telah
berlangsung selama tiga tahun (segala puji bagi
Allah).
Inilah ringkasan bahasan yang singkat tentang
perkembangan dakwah salafiyyah di Indonesia,
yang saya menulisnya dengan tergesa-gesa,
semoga saya diberi petunjuk padanya, dan
segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya
sempurnalah segala kebaikan.
Terakhir, saya mohon kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala agar memberi petunjuk kepada para
syaikh-syaikh kami yang mulia, dan juga kepada
para saudara-saudara kami yang mengadakan
pertemuan ini, dan agar Dia meninggikan panji
salafiyyin.
Allah-lah yang menolong dan kuasa atasnya.
Dan akhirnya kami ucapkan, alhamdulillahi rabbil
alamin.
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-
Islamiyyah, Edisi 10/Th II/2004/1425H. Penerbit
Ma’had Ali Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda
No 45 Surabaya]
Continue reading →