Tuesday 19 November 2013

Apakah Penghalang Ittiba Yang Nampak Pada Ajaran Islam

0 komentar
Penghalang Ittiba’ (1) : Kebodohan Terhadap
Ajaran Agama::.
Ittiba’ artinya meneladani dan mencontoh Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam di dalam keyakinan,
perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-perkara
yang ditinggalkan oleh beliau. Di sana ada banyak
hal yang menghalangi seorang hamba dari ittiba’
kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan
benar. Yang paling nampak adalah:
1. Kebodohan Terhadap Ajaran Agama
Kebodohan adalah penghalang terbesar dari ittiba’.
Bahkan ia adalah sebab terbesar yang
menjerumuskan seseorang ke dalam seluruh
perkara yang haram, baik berupa kekufuran, bid’ah
maupun kemaksiatan.1 Kebodohan itu bisa berupa
kebodohan terhadap nash-nash, yaitu tidak
mengetahui nash-nash tersebut. Atau kebodohan
terhadap kedudukan nash-nash tersebut di dalam
agama-bahwa nash-nash itulah yang berhak
didahulukan, sedangkan sumber-sumber yang lain
mengikutinya. Atau kebodohan terhadap
penunjukan lafadz, maksud-maksud syariat dan
kaidah-kaidah serta landasan-landasan dalam
ilmu, seperti mutlaq dan muqayyad, umum dan
khusus, nasikh dan mansukh, mujmal dan
mubayyan.2
Dan karena besarnya bahaya kebodohan ini, kita
dapati al-Qur’an al-Karim dan sunnah shahihah
penuh dengan nash-nash yang memberikan
peringatan dari kebodohan dan menjelaskan
bahayanya, serta memberi anjuran untuk berilmu
dan menjelaskan keutamaannya.
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
ﻗُﻞْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺭَﺑِّﻲَ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺣِﺶَ ﻣَﺎ ﻇَﻬَﺮَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻄَﻦَ ﻭَﺍﻟْﺈِﺛْﻢَ
ﻭَﺍﻟْﺒَﻐْﻲَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﺃَﻥْ ﺗُﺸْﺮِﻛُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻨَﺰِّﻝْ ﺑِﻪِ
ﺳُﻠْﻄَﺎﻧًﺎ ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Katakanlah, sesungguhnya Rabbku hanyalah
mengharamkan perbuatan-perbuatan keji yang lahir
maupun batin, mengharamkan perbuatan dosa,
kezhaliman tanpa hak, mengharamkan kalian
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak ada
bukti padanya dan Dia mengharamkan kalian
berkata atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian
ketahui” (QS. Al-A’raaf: 33)
As-Sa’di berkata, “Dan Dia mengharamkan kalian
berkata atas nama Allah, sesuatu tidak kalian
ketahui, di dalam nama-namaNya, sifat-sifatNya,
perbuatan-perbuatanNya dan syariatNya.”3
Ibnul Qayyim berkata, “Adapun berbicara atas
nama Allah tanpa ilmu, maka ini adalah perkara
yang paling haram dan paling besar dosanya. Oleh
karena itu, dia disebutkan pada tingkatan yang ke
empat di antara perkara-perkara haram yang telah
disepakati keharamannya oleh berbagai syariat dan
agama, dan tidak dibolehkan sama sekali, bahkan
senantiasa diharamkan. Kemudian beralih darinya
kepada sesuatu yang lebih besar lagi. Yaitu Allah
Ta’ala berfirman,
ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“dan Dia mengharamkan kalian berkata atas nama
Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui”
Maka ini lebih besar keharamannya dan lebih berat
dosanya di sisi Allah. Karena mengandung
kedustaan atas nama Allah, penisbatan Allah
kepada sesuatu yang tidak layak bagiNya,
perubahan dan penggantian terhadap agamaNya,
penolakan terhadap apa yang Dia tetapkan,
penetapan terhadap apa yang Dia tiadakan,
pembenaran sesuatu yang Dia batalkan,
pembatalan sesuatu yang Dia benarkan,
permusuhan terhadap wali-waliNya, kecintaan
terhadap musuh-musuhNya, kecintaan terhadap
apa yang Dia benci, kebencian terhadap apa yang
Dia cintai, pensifatan Allah dengan sesuatu yang
tidak layak bagiNya di dalam dzatNya, sifat-
sifatNya, perkataan-perkataanNya dan perbuatan-
perbuatanNya. Maka tidak ada jenis keharaman
yang lebih besar dan lebih berat di sisi Allah dari
pada hal ini. Dia adalah pangkal kesyirikan dan
kekufuran, pondasi bid’ah dan kesesatan. Maka
seluruh bid’ah yang menyesatkan di dalam agama,
pondasinya adalah perkataan atas nama Allah
tanpa ilmu …”4
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊَ ﻭَﺍﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻭَﺍﻟْﻔُﺆَﺍﺩَ ﻛُﻞُّ
ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻨْﻪُ ﻣَﺴْﺌُﻮﻻً
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu
tidak memiliki ilmunya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan dimintai pertanggungjawaban darinya” (QS.
Al-Isra: 36)
Sayyid Quthb berkata, “Aqidah Islamiyah adalah
aqidah yang jelas, lurus dan murni. Tidak ada
sedikitpun darinya yang tegak di atas persangkaan,
dugaan atau syubhat. “Dan janganlah kamu
mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki
ilmunya,” janganlah engkau mengikuti sesuatu yang
tidak engkau ketahui dengan yakin dan belum
engkau pastikan kebenarannya, baik berupa
perkataan atau riwayat yang disampaikan, dari
suatu zhahir yang ditafsirkan atau kenyataan yang
dijelaskan sebabnya, dan dari hukum syar’i atau
masalah keyakinan.”5
Dari Abdullah bin Amr, dia berkata, Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻻَ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋًﺎ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ
ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﺍﺗَّﺨَﺬَ
ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺭُﺀُﻭﺳًﺎ ﺟُﻬَّﺎﻻً ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ
ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara
langsung dari hamba-hambaNya. Akan tetapi, Dia
mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama.
Sehingga jika tidak menyisakan seorang alim pun,
manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh.
Lalu mereka ditanya kemudian berfatwa (menjawab
pertanyaan) tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan
menyesatkan”6
Dari Ali radhiallahu’anhu, dia berkata tentang sifat
orang-orang khawarij, aku mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
ﺳَﻴَﺨْﺮُﺝُ ﻓِﻲ ﺁﺧِﺮِ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥِ ﻗَﻮْﻡٌ ﺃَﺣْﺪَﺍﺙُ ﺍْﻷَﺳْﻨَﺎﻥِ ﺳُﻔَﻬَﺎﺀُ
ﺍْﻷَﺣْﻠَﺎﻡِ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﺮِ ﻗَﻮْﻝِ ﺍﻟْﺒَﺮِﻳَّﺔِ ﻳَﻘْﺮَﺀُﻭﻥَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻻَ
ﻳُﺠَﺎﻭِﺯُ ﺣَﻨَﺎﺟِﺮَﻫُﻢْ ﻳَﻤْﺮُﻗُﻮﻥَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻤْﺮُﻕُ ﺍﻟﺴَّﻬْﻢُ ﻣِﻦْ
ﺍﻟﺮَّﻣِﻴَّﺔِ
“Pada akhir zaman nanti akan keluar suatu kaum
yang masih muda umurnya, bodoh pikirannya.
Mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan
makhluk, mereka membaca al-Qur’an namun tidak
melampaui tenggorokan mereka. Mereka melesat
menembus agama ini sebagaimana anak panah
menembus sasarannya …”7
Di antara perkataan salaf tentang hal itu, dari Ibnu
Mas’ud radhiallahu’anhu, dia berkata,
“Pergilah kamu sebagai pengajar atau pelajar atau
yang mendengarkan. Dan janganlah kamu menjadi
orang yang ke empat, nanti kamu akan binasa.”8
Dari Salman Al-Farisi rahimahullah, dia berkata,
“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama
orang-orang yang pertama masih ada sehingga
orang yang terakhir mempelajari ilmu. Jika orang-
orang yang pertama telah meninggal sebelum
orang-orang yang akhir mempelajari ilmu, niscaya
manusia akan binasa.”9
Catatan Kaki
1 Lihat Haqiqatul Bid’ah wa Ahkamuha karya Al-
Ghamidi (1/177, 178, …).
2 Tafsir As-Sa’di (3/22).
3 Lihat Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (14/22).
4 Madarijus Salikin (1/378).
5 Fii Zhilaalil Qur’an (4/2227).
6 Al-Bukhari dengan Fathul Bari (1/23) no. 100.
7 Muslim (2/746, 747) no. 1066.
8 Ad-Darimi (1/84) no. 252.
9 Idem (1/84) no. 253.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.