Friday 24 January 2014

Tahlilan Tidak Di Kenal Di Zaman Rosulullah Dan Para Sahabat

0 komentar
Para pembaca, pembahasan kajian kali
ini bukan dimaksudkan untuk
menyerang mereka yang suka tahlilan,
namun sebagai nasehat untuk kita
bersama agar berpikir lebih jernih
bahwa kita (umat Islam) memiliki
pedoman baku yang telah diyakini
keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As
Sunnah.
Telah kita maklumi bersama bahwa
acara tahlilan merupakan upacara ritual
seremonial yang biasa dilakukan oleh
keumuman masyarakat Indonesia untuk
memperingati hari kematian. Secara
bersama-sama, berkumpul sanak
keluarga, handai taulan, beserta
masyarakat sekitarnya, membaca
beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir,
dan disertai do’a-do’a tertentu untuk
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari
sekian materi bacaannya terdapat
kalimat tahlil yang diulang-ulang
(ratusan kali bahkan ada yang sampai
ribuan kali), maka acara tersebut
dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Maha Suci Allah yang telah menurunkan
Al Qur’an dan mengutus Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
sebagai penjelas dan pembimbing untuk
memahami Al Qur’an tersebut sehingga
menjadi petunjuk bagi umat manusia.
Semoga Allah subhanahu wata’ala
mencurahkan hidayah dan inayah-Nya
kepada kita semua, sehingga dapat
membuka mata hati kita untuk
senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa
acara tahlilan merupakan upacara ritual
seremonial yang biasa dilakukan oleh
keumuman masyarakat Indonesia untuk
memperingati hari kematian. Secara
bersama-sama, berkumpul sanak
keluarga, handai taulan, beserta
masyarakat sekitarnya, membaca
beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir,
dan disertai do’a-do’a tertentu untuk
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari
sekian materi bacaannya terdapat
kalimat tahlil yang diulang-ulang
(ratusan kali bahkan ada yang sampai
ribuan kali), maka acara tersebut
dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan
setelah selesai proses penguburan
(terkadang dilakukan sebelum
penguburan mayit), kemudian terus
berlangsung setiap hari sampai hari
ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali
pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk
selanjutnya acara tersebut diadakan tiap
tahun dari hari kematian si mayit,
walaupun terkadang berbeda antara
satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut
penjamuan yang disajikan pada tiap kali
acara diselenggarakan. Model penyajian
hidangan biasanya selalu variatif,
tergantung adat yang berjalan di tempat
tersebut. Namun pada dasarnya menu
hidangan “lebih dari sekedarnya”
cenderung mirip menu hidangan yang
berbau kemeriahan. Sehingga acara
tersebut terkesan pesta kecil-kecilan,
memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara
tersebut diselenggarakan, hingga tanpa
disadari menjadi suatu kelaziman.
Konsekuensinya, bila ada yang tidak
menyelenggarakan acara tersebut
berarti telah menyalahi adat dan
akibatnya ia diasingkan dari
masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi
acara tersebut telah membangun opini
muatan hukum yaitu sunnah (baca:
“wajib”) untuk dikerjakan dan
sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan
ajaib) apabila ditinggalkan.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini
telah lama menjadi pro dan kontra di
kalangan umat Islam. Sebagai muslim
sejati yang selalu mengedepankan
kebenaran, semua pro dan kontra harus
dikembalikan kepada Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah
yang sepatutnya dimiliki oleh setiap
insan muslim yang benar-benar
beriman kepada Allah subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah
subhanahu wata’ala telah berfirman
(artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul
(As Sunnah), jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Yang demikian itu lebih utama bagi
kalian dan lebih baik akibatnya. ” (An
Nisaa’: 59)
Sejarah Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan
sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan
tidak dijumpai di masa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para
sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun
Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut
tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam
Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik,
Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan
ulama lainnya yang semasa dengan
mereka ataupun sesudah mereka. Lalu
dari mana sejarah munculnya acara
tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari
upacara peribadatan (baca: selamatan)
nenek moyang bangsa Indonesia yang
mayoritasnya beragama Hindu dan
Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk
penghormatan dan mendo’akan orang
yang telah meninggalkan dunia yang
diselenggarakan pada waktu seperti
halnya waktu tahlilan. Namun acara
tahlilan secara praktis di lapangan
berbeda dengan prosesi selamatan
agama lain yaitu dengan cara mengganti
dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama
lain dengan bacaan dari Al Qur’an,
maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala
Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa
mengetahui bahwa sebenarnya acara
tahlilan merupakan adopsi
(pengambilan) dan sinkretisasi
(pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus
pada dua acara yang paling penting
yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/
surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan
disertai dengan do’a-do’a tertentu yang
ditujukan dan dihadiahkan kepada si
mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali
dalam kaca mata Islam, walaupun secara
historis acara tahlilan bukan berasal
dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang
membolehkan acara tahlilan, mereka
tiada memiliki argumentasi (dalih)
melainkan satu dalih saja yaitu istihsan
(menganggap baiknya suatu amalan)
dengan dalil-dalil yang umum sifatnya.
Mereka berdalil dengan keumuman ayat
atau hadits yang menganjurkan untuk
membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun
berdoa dan menganjurkan pula untuk
memuliakan tamu dengan menyajikan
hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan
do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan
kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan
untuk membaca Al Qur’an, berdzikir
dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan
membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan
do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi
dengan menentukan cara, waktu dan
jumlah tertentu (yang diistilahkan
dengan acara tahlilan) tanpa merujuk
praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya bisa
dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan
kesepakatan umat Islam semuanya,
karena memang telah dinyatakan oleh
Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-
Nya. Allah subhanahu wata’ala
berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agama Islam bagi kalian, dan telah Aku
sempurnakan nikmat-Ku atas kalian
serta Aku ridha Islam menjadi agama
kalian. ” (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﺷَﻲْﺀٌ ﻳُﻘَﺮِّﺏُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻭَﻳُﺒَﺎﻋِﺪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺇِﻻَّ
ﻗَﺪْ ﺑُﻴِّﻦَ ﻟَﻜُﻢْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat
mendekatkan kepada Al Jannah (surga)
dan menjauhkan dari An Naar (neraka)
kecuali telah dijelaskan kepada kalian
semuanya. ” (H. R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan
suatu landasan yang agung yaitu bahwa
Islam telah sempurna, tidak butuh
ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada
suatu ibadah, baik perkataan maupun
perbuatan melainkan semuanya telah
dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam mendengar berita tentang
pernyataan tiga orang, yang pertama
menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud
dan tidak akan tidur malam”, yang
kedua menyatakan: “Saya akan
bershaum (puasa) dan tidak akan
berbuka”, yang terakhir menyatakan:
“Saya tidak akan menikah”, maka
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
menegur mereka, seraya berkata: “Apa
urusan mereka dengan menyatakan
seperti itu? Padahal saya bershaum dan
saya pun berbuka, saya shalat dan saya
pula tidur, dan saya menikahi wanita.
Barang siapa yang membenci sunnahku
maka bukanlah golonganku.
” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah
Islam tidak akan diterima oleh Allah
subhanahu wata’ala kecuali bila
memenuhi dua syarat yaitu ikhlas
kepada Allah dan mengikuti petunjuk
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Allah subhanahu wata’ala menyatakan
dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji siapa
diantara kalian yang paling baik
amalnya. ” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan
makna “yang paling baik amalnya” ialah
yang paling ikhlash dan yang paling
mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan
shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu
jelek, bahkan keduanya merupakan
ibadah mulia bila dikerjakan sesuai
tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih
niat baik (istihsan) semata -seperti
peristiwa tiga orang didalam hadits
tersebut- tanpa mencocoki sunnah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
maka amalan tersebut tertolak. Simaklah
firman Allah subhanahu wata’ala
(artinya): “Maukah Kami beritahukan
kepada kalian tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya. Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia
ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka telah berbuat sebaik-
baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits
‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan
diatas petunjuk kami, maka amalan
tersebut tertolak. ” (Muttafaqun alaihi,
dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah
kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
ﻓَﺎﻷَﺻْﻞُ ﻓَﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟﺒُﻄْﻼَﻥُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻘُﻮْﻡَ ﺩَﻟِﻴْﻞٌ
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻣْﺮِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah
batal, hingga terdapat dalil (argumen)
yang memerintahkannya. ”
Maka beribadah dengan dalil istihsan
semata tidaklah dibenarkan dalam
agama. Karena tidaklah suatu perkara
itu teranggap baik melainkan bila Allah
subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya
menganggapnya baik dan tidaklah suatu
perkara itu teranggap jelek melainkan
bila Allah subhanahu wata’ala dan
Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih
menukik lagi pernyataan dari Al Imam
Asy Syafi’I:
ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﺤْﺴَﻦَ ﻓَﻘَﺪْ ﺷَﺮَﻉَ
“Barang siapa yang menganggap baik
suatu amalan (padahal tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah –pent)
berarti dirinya telah menciptakan
hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam
madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang
hukum bacaan Al Qur’an yang
dihadiahkan kepada si mayit, beliau
diantara ulama yang menyatakan bahwa
pahala bacaan Al Qur’an tidak akan
sampai kepada si mayit. Beliau berdalil
dengan firman Allah subhanahu
wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh (pahala) selain apa yang
telah diusahakannya”. (An Najm: 39),
(Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian
hidangan untuk para tamu merupakan
perkara yang terpuji bahkan dianjurkan
sekali didalam agama Islam. Namun
manakala penyajian hidangan tersebut
dilakukan oleh keluarga si mayit baik
untuk sajian tamu undangan tahlilan
ataupun yang lainnya, maka memiliki
hukum tersendiri. Bukan hanya saja
tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bahkan perbuatan ini telah melanggar
sunnah para sahabatnya radhiallahu
‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu
‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata:
“Kami menganggap/ memandang
kegiatan berkumpul di rumah keluarga
mayit, serta penghidangan makanan
oleh keluarga mayit merupakan bagian
dari niyahah (meratapi mayit). ” (H. R
Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah
keluarga mayit dan penjamuan
hidangan dari keluarga mayit termasuk
perbuatan yang dilarang oleh agama
menurut pendapat para sahabat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
dan para ulama salaf. Lihatlah
bagaimana fatwa salah seorang ulama
salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam
masalah ini. Kami sengaja menukilkan
madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena
mayoritas kaum muslimin di Indonesia
mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam
salah satu kitabnya yang terkenal yaitu
‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara
berkumpulnya orang (di rumah keluarga
mayit –pent) meskipun tidak disertai
dengan tangisan. Karena hal itu akan
menambah kesedihan dan memberatkan
urusan mereka. ” (Lihat Ahkamul Jana-iz
karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al
Imam An Nawawi seorang imam besar
dari madzhab Asy Syafi’i setelah
menyebutkan perkataan Asy Syafi’i
diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh
Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini
adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um,
dan inilah yang diikuti oleh murid-
murid beliau. Adapun pengarang kitab
Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan
lainnya berargumentasi dengan
argumen lain yaitu bahwa perbuatan
tersebut merupakan perkara yang diada-
adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan
tersebut dinisbahkan kepada madzhab
Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan
bagi tetangga keluarga mayit yang
menghidangkan makanan untuk
keluarga mayit, supaya meringankan
beban yang mereka alami. Sebagaimana
bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadistnya:
ﺍﺻْﻨَﻌُﻮﺍ ﻵﻝِ ﺟَﻌْﻔَﺮَ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺗَﺎﻫُﻢْ ﺃَﻣْﺮٌ ﻳُﺸْﻐِﻠُﻬُﻢْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga
Ja’far, Karena telah datang perkara
(kematian-pent) yang menyibukkan
mereka. ” (H. R Abu Dawud, At Tirmidzi
dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa
memberikan penerangan bagi semua
yang menginginkan kebenaran di tengah
gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.